DASARA 2000 HARI 1

Wacana Bhagawan pada perayaan Dasara , 1 Oktober 2000.

BEBERAPA PERISTIWA SEMASA KANAK-KANAK


Banyak orang berkhotbah mengenai pengetahuan Brahman,
Tetapi tidak ada yang menyadarinya dalam kenyataan.
Sesungguhnya perkataan Sai adalah kebenaran.

( Puisi bahasa Telugu ).


Perwujudan kasih!

Hati setiap putra Bhaarat ( yaitu orang India atau mereka yang mengikuti sanaatana dharma ) murni dan mantap. Mereka percaya bahwa setiap benda di dunia bersifat ketuhanan. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan Veda yang sangat luhur seperti, “Sarvam khalvidam Brahma,” artinya ‘sesungguhnya semua ini adalah ( perwujudan ) Tuhan’, “Sarvam Vishnumayam jagat” ‘seluruh dunia ini diliputi Tuhan’ dan “Ishavasyamidam sarvam,” ‘Tuhan berada dalam segala sesuatu’. Aneka pernyataan Veda ini mengemukakan kebenaran yang abadi. Kebudayaan para putra Bhaarat penuh dengan ajaran semacam itu. Akan tetapi, kini jumlah orang-orang yang mengamalkan ajaran suci semacam itu semakin merosot. Banyak orang mengatakan bahwa Tuhan ada di mana-mana, tetapi mereka tidak benar-benar mempercayainya dan tidak berusaha menyadarinya.


Kebudayaan Bhaarat

Kebudayaan para putra Bhaarat itu abadi, tetapi kebudayaan yang demikian suci dan luhur itu kini diabaikan banyak orang. Apa sebabnya? Mereka tidak mengindahkan Tuhan dan melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang timbul dari dalam batinnya. Apakah manusia mengamalkan kebenaran yang berasal dari dalam dirinya? Tuhan adalah kebenaran dan ada dalam segala makhluk. Akan tetapi, manusia modern tidak menyadari kebenaran ini dan memiliki anggapan yang keliru.


Sejak zaman dahulu para putra Bhaarat telah memuja pohon, bukit sarang semut, dan bahkan batu karena keyakinan mereka. Banyak orang menafsirkan hal ini secara keliru dan mereka menganggap para putra Bhaarat sebagai orang-orang bodoh yang percaya takhayul. Akan tetapi, anggapan ini tidak benar karena di dunia ini tiada apa pun yang tidak bersifat ketuhanan. Karena kenyataannya demikian, apa salahnya memuja pohon atau batu sebagai Tuhan? Ini memperlihatkan bahwa Tuhan itu Maha Esa. Namun, rasa kemanunggalan ini tidak dipahami oleh orang-orang masa kini.

Bhagawad Gita juga menyatakan bahwa Tuhan meliputi segala benda di seluruh alam semesta. Bhagawad Gita menyatakan bahwa kemanunggalan merupakan hakikat spiritualitas. Manusia bukannya berusaha menyadari hal ini, melainkan bahkan mengecam orang lain. Mengecam orang lain itu sama dengan mengecam Tuhan karena Tuhan bersemayam dalam setiap makhluk. Berdasarkan inilah, maka Bhagawad Gita memperingatkan, “Adveshta sarva-bhuutanam,” ‘jangan membenci siapa pun’.

Budaya pusaka negeri Bhaarat sangat luhur. Filsafat dasar keadilan sosial yang diyakini para putra Bhaarat tidak dijumpai di tempat lain. Bagaimana manusia dapat memahami kesucian semacam ini yang bahkan melampaui rasa persatuan? Bila engkau merenungkan umat manusia secara keseluruhan, engkau dapat melihat Tuhan yang meliputi segala sesuatu.


Bhagawad Gita menyatakan bahwa aspek Tuhan yang ada di dalam batu, katak, gundukan tanah, pohon, dan sarang semut, sesungguhnya satu dan sama. Bahkan kini pun orang-orang memuja pepohonan. Mereka menanam tulasi ( ocimum sanctum ) di rumahnya dan memujanya. Daun bilva ( aegle marmelos ) dan tulasi diyakini sebagai persembahan yang suci bagi Tuhan. Para putra Bhaarat beranggapan bahwa apa pun yang mereka lihat, mereka katakan, mereka lakukan, mereka pikirkan, atau mereka amalkan, merupakan manifestasi Tuhan. Banyak orang-orang mulia yang telah menyadari kemanunggalan ini dalam pengamalan. ( Santo ) Tyaagaraaja mengajarkan kemanunggalan ini ( dengan lagunya ), “Oh Raama, Engkau ada di dalam semut dan dalam Brahman, dalam Shiva dan Keshava! Oh Yang Penuh Welas Asih, limpahkan rahmat-Mu kepadaku.” Ia percaya bahwa Tuhan juga ada sekalipun di dalam semut. Betapa besar kemampuan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada semut kecil itu karena gigitannya membuat manusia pun merasa sakit. Tuhan telah memberikan kemampuan ini kepada semut untuk perlindungan diri. Karena itu, di dunia ini tidak ada orang yang dapat memahami hakikat kebudayaan para putra Bhaarat atau pun kemurnian serta keyakinan mereka. Bahkan para putra Bhaarat pun tidak memahaminya dalam pengertian yang sebenarnya.

Sanjay Sahni
Sore ini Sanjay Sahni ( dosen jurusan perdagangan di perguruan ini ) berbicara mengenai seekor anjing kecil. Tadinya anjing itu berada di bawah sana bersama-Ku. Ketika Aku menaiki tangga, anjing itu juga ikut. Kini manusia bahkan tidak mempunyai kepintaran seekor anjing! Anjing dapat memahami sesuatu yang akan terjadi, tetapi manusia tidak. Misalkan engkau sedang berjalan dan seekor anjing berbaring di sebuah lubang kira-kira enam meter jauhnya darimu. Jika engkau berjalan melewatinya tanpa mempunyai rasa benci, anjing itu tidak akan bangkit. Akan tetapi, bila engkau bermaksud melemparnya dengan batu, sekalipun engkau berada enam meter darinya, anjing itu akan lari. Lihatlah, betapa pintarnya hewan itu dan bagaimana ia dapat merasakan pikiran manusia!

Demikianlah Tuhan berada secara laten di dalam segala makhluk. Masa depan alam semesta tergantung pada masa depan makhluk hidup. Manusia tidak akan pernah dapat memastikan bahwa ini adalah Tuhan dan itu bukan. Setiap putra Bhaarat harus teguh meyakini hal ini.

Periksalah batu yang mana saja. Akan kaujumpai bahwa batu itu mempunyai bentuk tertentu. Cobalah menaksir berat, nilai, dan wujudnya. Ini adalah energi. Ini adalah Tuhan yang berada secara laten di dalam segala wujud. Sebuah batu dapat melukai siapa saja. Ilmuwan beranggapan bahwa kemampuan itu berasal dari hukum alam. Akan tetapi, ini keliru. ( Kemampuan itu ) merupakan hukum ciptaan. Energi Sang Pencipta merupakan dasar utamanya.

Analisislah apa saja, kita akan menemukan energi Tuhan di dalamnya. Handuk ini terbuat dari kapas. Kapas adalah benda yang demikian ringan sehingga terbang sekalipun hanya tertiup angin yang lembut. Sekarang kapas itu sudah berwujud handuk yang kuat sekali. Persatuan benang membuat kain ini kuat. Jika engkau meningkatkan hubungan semacam itu dengan Tuhan, engkau pun akan bersifat Tuhan. Selama engkau menganggap sebatang pohon sebagai sebatang pohon, sebuah batu sebagai sebuah batu, ia akan tetap seperti itu. Engkau harus melihat Tuhan di dalamnya, Tuhan yang suka menolong kita semua. Pohon memberi naungan bahkan kepada orang yang akan menebangnya. Tanpa mengindahkan kerugian dan kerusakan yang ditimpakan kepadanya, pohon itu bahkan memberikan buahnya kepada orang tersebut! Ini berarti Tuhan tidak mempedulikan pujian atau kecaman karena segala sesuatu adalah wujud Beliau. Jadi, mengapa manusia harus memiliki rasa benci?


Badan adalah Pura Tuhan

Kini manusia memuja Tuhan dan bersamaan dengan itu ia menjahati, melukai, atau merugikan sesama makhluk. Dapatkah ini disebut bakti? Tidak. Bila engkau mengakui kebenaran bahwa Tuhan ada dalam segala makhluk, dan engkau bertingkah laku sesuai dengan kesadaran itu, maka perbuatan itu akan mengungkapkan Tuhan kepadamu. Para bakta dewasa ini kadang-kadang menghormati sesama manusia, tetapi melukai atau merugikan makhluk hidup yang lain. Kasih Tuhan itu satu dan kasih itu harus kauberikan secara tanpa pamrih kepada semua makhluk. Sementara engkau terus meningkatkannya, kasih ini melimpah kepada semua makhluk. Karena itu, janganlah engkau keliru dan mengira bahwa kasih harus diberikan hanya kepada manusia. Kasih itu harus diberikan kepada semua makhluk hidup.

Orang-orang bukannya menganggap kasih ( universal ) itu sebagai Tuhan, tetapi bahkan memperlakukan Tuhan hanya sebagai benda mati. Yad bhaavam tad bhavati ‘sebagaimana perasaannya, maka demikianlah yang terjadi’. Jika penonton mempunyai perasaan buruk, pemandangan yang dilihatnya tampak buruk. Kesalahannya terletak pada pandangan, bukan pada ciptaan. Mengapa perasaan semacam itu harus timbul dalam dirimu, jika engkau pun adalah ( perwujudan ) Tuhan? Kelekatan pada tubuhlah yang meningkatkan kelekatan pada sifat-sifat ( buruk ) semacam itu.

Tuhan tidak mempunyai sifat. Tuhan dilukiskan sebagai nirgunam ‘tidak bersifat’, niranjanam ‘murni’, sanaatana niketanam ‘tempat tinggal abadi’, mukta ‘bebas’, nirmala swaruupinam ‘perwujudan kesucian’. Engkau khilaf karena kelekatanmu yang berlebihan pada tubuh. Tubuh yang lembam dan dapat binasa ini hanya kaumiliki sampai jangka hidupmu berakhir. Jadi, mengapa melekat kepadanya? Engkau harus menggunakannya sebagai alat. Namun, jangan beranggapan bahwa engkau adalah alat itu ( jangan kausamakan dirimu dengan alat atau tubuhmu ). Kelekatan pada badan mempengaruhi ( atau mengurangi ) rasa percaya diri atau keyakinanmu pada dirimu yang sejati.

Karena engkau sudah mengetahui asas kemanunggalan ( semesta ), janganlah engkau pernah menyakiti atau merugikan makhluk lain. Menyakiti makhluk lain sama dengan menyakiti Tuhan yang kaupuja. Orang-orang memuja Tuhan hanya sebagai patung, tanpa menyadari kesadaran yang laten di dalamnya. Bhagawad Gita menyatakan, “Deho Devalaya prokto, jiivo Deva sanaatana,” artinya ‘tubuh adalah pura dan jiwa bersemayam di dalamnya’. Karena itu, engkau harus menghormati pura ini dan menjaga kebersihannya. Bagaimana manusia dapat menyakiti pura tubuh ( makhluk lain )?


Ajaran dan Pelaksanaan

Engkau sudah mendengar berbagai pernyataan yang suci, tetapi adakah satu di antaranya yang kaulaksanakan? ( Engkau berkata bahwa Tuhan ada di dalam Brahma maupun di dalam semut ). Akan tetapi, engkau bersujud kepada Brahma dan bersamaan dengan itu, kaubunuh semut di punggungmu. Tidak ada hubungan antara perkataan dan perbuatanmu bila engkau memuja satu wujud dan menyakiti wujud lainnya. ( Semua yang kaukatakan tidak ada artinya, jika tidak kaulaksanakan ). Sesungguhnya hal semacam itu menjauhkan engkau dari Tuhan.

Kini keinginan-keinginan manusia sudah tumbuh melampaui batas. Ini perlu dibatasi agar manusia dapat menyadarid ketuhanannya. Makanlah sekadar cukup utuk memelihara badan, dan kenakan pakaian untuk melindungi tubuh dari rasa dingin.

Ketika Yesus disalibkan, Bunda Maria sedih sekali. Terdengar suara surgawi yang menyatakan, “Kematian adalah busana kehidupan.” Busana ini terus menerus berganti, tetapi jiwa individu tetap sama. Jiwa itu abadi. Ada dikatakan,

“Ia tidak lahir, tidak mati, dan abadi.
Ia tiada awal atau akhirnya,
Ia tidak dilahirkan atau menemui ajal;
Dan tidak dapat dibinasakan.
Ia meliputi segala sesuatu dalam bentuk atma.”

( Puisi bahasa Telugu ).


Spiritualitas berasal dari negeri Bhaarat yang suci ini. Apa guna kehidupan seseorang, jika ia tidak mengenali negeri asal kehidupan spiritual ini? Setiap hari engkau melakukan puja dan meditasi. Akan tetapi, engkau tidak tahu kepada siapa engkau bermeditasi. Hindari ritual yang tiada artinya semacam itu. Miliki welas asih kepada semua makhluk hidup. Ketika Dharmaraaja menempuh perjalanan ke surga ( menjalani nazar mahaapras-thana, berjalan terus ke utara sampai ajal tiba, keterangan penerjemah ), istri dan saudara-saudaranya satu demi satu tewas meninggalkan raga di jalan. Akan tetapi, ada seekor anjing yang mengikutinya hingga sampai ke tujuan. Ketika utusan surgawi mengundangnya masuk ke surgaloka, Dharmaraaja bersikeras agar anjing itu diizinkan masuk ke surga sebelum ia masuk karena hewan itu telah mengikutinya sepanjang perjalanan. Dengan demikian Dharmaraaja mengamalkan moralitas, ketulusan, dan kejujuran. Jangan pernah mengkhianati kepercayaan orang lain dan jangan pernah menipu siapa saja yang telah menolongmu.



Dewasa ini orang-orang kurang memiliki rasa terimakasih. Ia menerima semua kebaikan serta bantuan dan sebagai gantinya ia menjahati orang yang menolongnya. Jika engkau menerima bantuan dari seseorang, seumur hidupmu engkau harus terus berterimakasih kepadanya. Ini sebuah contoh.

Ketika bersekolah di Uravakonda, Aku duduk sebangku dengan dua anak laki-laki. Aku di tengah diapit oleh Ramesh dan Suresh. Mereka berusia kira-kira 7 – 8 tahun dan tidak bisa belajar dengan baik. Karena itu, bila ada guru yang mengajukan pertanyaan kepada mereka, mereka biasa memberikan jawaban yang Kubisikkan dan untuk itu para guru memuji-muji mereka. Demikianlah Aku terus membantu mereka dan lambat laun hal ini menimbulkan perubahan dalam sikap mereka. Mereka mulai beranggapan bahwa selain Raju, tidak ada yang menolong mereka. Sepanjang waktu mereka menyebut nama Raju. Bila ibu mereka menyiapkan makanan apa saja di rumah, mereka membungkusnya dan membawanya untuk Raju. Namun, Aku menolak semua ini dan menyatakan, “Aku selalu pemberi, tetapi bukan penerima. Persahabatan kita akan berlangsung lebih lama tanpa urusan memberi dan menerima ini. Jika Aku menerima sesuatu, Aku harus selalu berhutang budi kepadamu. Karena itu, Aku tidak mau menerima apa pun.”


Mahbub Khan adalah guru bahasa Inggris di sekolah kami. Persahabatannya dengan Aku tidak bersifat lahiriah, melainkan pertalian atma. Bila tiba waktunya ia mengajar di kelas kami, ia akan meminta agar guru yang mengajarkan ( mata pelajaran ) sebelumnya segera meninggalkan kelas. Kelas kami penuh siswa dengan perbedaan usia sampai delapan tahun. Jika mereka melihat Mahbub Khan datang, mereka mulai menggoda Aku dan mengolok-olok. Mahbub Khan jarang memberikan pelajaran bila Aku ada di kelas. Begitu duduk, ia akan memanggil-Ku, “Raju!” agar Aku datang ke dekatnya. Dengan lembut Kukatakan kepadanya, “Pak, siswa-siswa lain mungkin akan salah paham kepada Bapak, karena itu Saya akan duduk di bangku di sana bersama anak-anak lain. Tolong jangan selalu memanggil Saya.” Ini membuat Mahbub Khan marah. Ia berkata, “Biar mereka berpikir sesukanya, saya tidak takut. Saya tidak melakukan apa pun yang salah. Saya mencintai semuanya, tetapi rasa sayang saya kepada-Mu lebih besar. Ini karena kekuatan Tuhan yang ada di dalam diri-Mu.” Peristiwa ini Kuceritakan lagi demi kebaikan kalian.
Ujian

Ujian negara yang disebut E.S.L.C. sudah menjelang. Kami harus pergi ke Uravakonda. Pada waktu itu tidak ada bus atau gerobak lembu. Puttaparthi, desa terpencil 60 tahun yang lalu, kini sudah menjadi kota. Sekarang ada universitas, lapangan udara, setasiun kereta api, dan berbagai fasilitas lain. Namun, pada masa itu kami harus pergi ke sana berjalan kaki sambil membawa dua roti besar ( yang dimaksud dengan roti di sini yaitu chappati, semacam dadar dari tepung gandum dan air ). Setelah berjalan beberapa waktu kami biasa beristirahat di bawah sebatang pohon lalu melanjutkan perjalanan lagi sambil bermain dan bernyanyi.

Ramesh dan Suresh merasa putus asa memikirkan ujian yang semakin mendekat. Kukatakan kepada mereka, “Percayalah kepada-Ku, Aku akan membuat kalian lulus.” Kuberitahu mereka apa yang harus dilakukan. Begitu memasuki ruang ujian, kami diberi kertas kosong untuk jawaban, lalu kami duduk di tempat masing-masing. Nomor ( tempat duduk ) yang diberikan sangat berlainan. Aku mendapat nomor 9, Ramesh nomor 300, dan Suresh nomor 200 sehingga kami bertiga duduk saling berjauhan. Akan tetapi, mereka mengikuti perintah-Ku dengan saksama sampai ke detailnya.

Lain halnya dengan para siswa yang menyanyikan kidung suci di sini. Aku sudah menekankan berkali-kali bahwa kidung suci yang berkaitan dengan segala agama harus dinyanyikan agar semua orang merasa puas. Bila engkau sudah menyanyikan kidung suci Vishnu, berikutnya harus kidung Shiwa agar mereka yang berbakti kepada Shiwa merasa gembira. Setiap peserta kidung suci harus merasa senang. Akan tetapi para pemuda kita tidak mau mendengar hal ini dan bernyanyi sesukanya sendiri. Karena itu, Aku pun sudah tidak memberitahukan hal ini lagi kepada mereka.

Akan tetapi, kedua anak laki-laki ini berbeda. Mereka masuk ke ruang ujian dan sesuai dengan petunjuk-Ku, berpura-pura menulis selama dua jam. Setelah dua jam kertas-kertas jawaban dikumpulkan. Aku menuliskan jawaban bagi mereka berdua dengan gaya tulisan mereka setelah menyelesaikan kertas-Ku sendiri dalam waktu setengah jam. Dengan demikian, setelah satu setengah jam Aku menyerahkan tiga kertas jawaban lalu kami bertiga meninggalkan ruang itu.

Semua pelajar membicarakan jawaban mereka di luar ruang ujian. Namun, kedua anak ini mematuhi petunjuk-Ku dan tidak mengatakan apa-apa. Hari berikutnya jawaban diumumkan. Hanya Ramesh, Suresh, dan Aku lulus rangking pertama. ( Hadirin bertepuk tangan ). Tidak seorang pun dapat meragukan nilai mereka yang tinggi karena nomor pendaftaran kami jauh berbeda dan tulisan tangan pada ketiga kertas jawaban itu juga berbeda. Kami dibawa dalam prosesi di sepanjang jalan. Kedua anak itu terus menunduk. Kubesarkan hati mereka agar berani dan tidak menunduk. Pada hari ketiga murid-murid di kelas kami diberi berbagai pertanyaan yang didasarkan pada soal ujian. Ramesh dan Suresh tidak dapat menjawab satu pertanyaan pun. Kuberitahu mereka agar berkata bahwa dalam ujian hati merekalah yang membisikkan jawaban tersebut.

Pada suatu hari ketika Aku kembali dari Hampi, peniti di kerah kemeja-Ku hilang. Pada waktu itulah Aku menyatakan,
“Peniti kerah baju ini ( ibarat ) maya, karena itu, lenyaplah segala ikatan. Ketahuilah Aku sebagai Sai. Hentikan usahamu untuk membelenggu Aku dalam ikatan. Segala pertalian-Ku dengan kalian sekarang putus. Tidak ada seorang pun yang dapat mengikat Aku.”


Seshama Raju mencatat perkataan-Ku ini. Kadang-kadang ia bahkan mengingatkan Aku tentang hal ini.

Ketika Aku meninggalkan Uravakonda, kepala sekolah kami adalah Kameswar Rao. Setiap orang--termasuk kepala sekolah—menangis. Namun Aku tidak terhambat. Apakah Aku akan menyerah pada semua ini? Hari berikutnya mereka meminta seorang anak laki-laki lain agar memimpin doa menggantikan Aku. Doa itu pun karangan-Ku. Anak tersebut—seorang pelajar Muslim—adalah penyanyi yang baik. Ia maju ke mimbar, tetapi tidak mampu bernyanyi. Ia teringat kepada-Ku lalu menangis. Doa pun dihentikan dan hari itu dinyatakan sebagai hari libur. Tanpa Raju, Ramesh dan Suresh tidak mau duduk di bangku atau tinggal di dalam kelas. Ramesh berlari dan melompat ke dalam sumur meninggalkan raganya. Suresh terus menerus menangis, “Raju, apakah Anda sudah meninggalkan kami? Apakah Anda sudah meninggalkan kami?” Ia menjadi tidak waras dan dirawat di rumah sakit jiwa Bangalore. Orang tuanya mohon agar Aku pergi menjenguknya. Swami berkata kepada mereka, “Suresh yang sekarang berbeda dari yang dahulu. Tidak ada gunanya Aku datang menengoknya.” Setelah beberapa hari ia juga meninggal.

Jack dan Jill

( Waktu tinggal ) di mandir lama Aku mempunyai dua ekor anjing: Lilly dan Billy. Lilly melahirkan Jack dan Jill. Keduanya tak lain adalah Ramesh dan Suresh yang datang lagi untuk tinggal di dekat-Ku. Yang satu biasa tidur di dekat kepala-Ku dan lainnya di kaki-Ku. Bila Aku bergerak sedikit saja, mereka bangun.

Suatu hari ratu dari Mysore datang untuk memperoleh darshan Swami. Ia wanita yang sangat ortodoks. Ia turun dari mobil di Karnatanagapalli lalu berjalan ke Puttaparthi. Setelah makan malam, supirnya harus kembali ke mobil. Hari sudah gelap dan pengemudi itu tidak tahu jalan. Kuperintahkan Jack agar menunjukkan jalan dan supir tersebut mengikutinya. Pengemudi tidur di dalam mobil sementara Jack tidur di kolong mobil. Keesokan harinya ketika supir menjalankan mobil, punggung Jack terlindas. Dari sana Jack menyeret diri melewati Sungai Chitravati menuju mandir. Subanna, tukang cuci yang biasa membersihkan mandir, memberitahu Aku bahwa entah kena apa, Jack datang sambil menangis. Kujawab bahwa Aku tahu, lalu Aku berjalan ke gerbang mandir. Jack jatuh di kaki-Ku sambil menangis keras lalu mengembuskan napas terakhir. Jack dikuburkan di belakang mandir lama. Setelah beberapa hari, Jill pun menemui ajalnya. Kubangun samadhi untuk mereka dan Kutanam tulasi di atasnya. Samadhi tersebut ada di situ sampai lama. Beberapa waktu yang lalu, ketika Aku berada di Bangalore, insinyur bangunan meratakannya dengan tanah untuk memperluas Kalyana Mandapam ‘gedung pertemuan untuk pesta pernikahan’. Dengan demikian setelah melewatkan hidup berikutnya sebagai anjing, Ramesh dan Suresh akhirnya manunggal dengan Aku. Mereka yang percaya kepada-Ku tidak akan kekurangan apa-apa.




Suatu kali Aku harus ikut serta dalam perkemahan pramuka, tetapi Aku tidak mempunyai seragam. Ayah Ramesh seorang pejabat. Ramesh minta dua pasang seragam kepada ayahnya, tetapi tidak mengatakan bahwa yang sepasang akan diberikannya kepada-Ku. Ramesh membungkus seragam itu dan meletakkannya di bawah mejaku dengan sebuah surat yang mengatakan bahwa jika Raju tidak mau menerimanya, ia akan bunuh diri. Kutaruh sebuah surat lain yang mengatakan bahwa jika Ramesh ingin persahabatan kami langgeng, ia harus mengambil kembali seragam itu. Ramesh menganggap ini sebagai perintah-Ku lalu pakaian itu diambilnya lagi. Demikianlah pada masa itu bahkan dalam masalah-masalah yang kecil pun anak-anak mematuhi perintah-Ku


Mendidik Orang-orang Dewasa

Ketika bersekolah di Bukkapatnam, Aku biasa mengajar orang-orang yang lebih tua dan berusia antara 20 – 30 tahun di Puttaparthi. Mereka mencari nafkah dengan berjualan bunga melati. Aku biasa mengajar mereka pada sore hari setelah kembali dari Bukkapatnam. Mereka menghormati Raju sebagai guru mereka.

Pada bulan Magha anak-anak di desa ini biasa melakukan mandi suci di sebuah kolam dekat pura Hanumaan. Suatu kali sesudah mandi Kuberitahu mereka agar berjalan mengelilingi pura. Mereka minta agar Aku ikut serta, tetapi Aku berpura-pura sakit kaki. Karena mereka mendesak dengan penuh kasih, Aku pun berjalan mengitari pura bersama mereka. Pada akhir putaran pertama, seekor kera yang sangat besar menghalangi jalan-Ku. Orang-orang berusaha mengusir kera itu, tetapi tidak berhasil. Kera yang besar sekali itu mohon kepada-Ku agar tidak mengitari pura. Kemudian Kujelaskan kepada anak-anak bahwa kera tersebut datang dengan perasaan suci seperti itu. Kera yang sangat besar itu tidak lain adalah Hanumaan.

Sementara itu Seshama Raju ( abang Swami ) dipindah tugaskan ke Uravakonda. Seshama Raju memutuskan akan membawa Raju agar dapat melanjutkan sekolah di sana. Ketika mengetahui hal ini anak-anak merasa sedih karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada-Ku sebagai gurudakshina ‘hadiah sebagai ungkapan rasa terimakasih yang lazim diberikan oleh murid kepada guru’. Pada masa itu uang lebih berharga daripada benda-benda lain. Mereka semua urun satu paisa seorang kemudian dipersembahkan kepada-Ku. Aku tidak mau menerimanya dan minta agar mereka menyimpan uang mereka. Dengan cara ini penduduk desa memperlihatkan rasa terimakasih mereka kepada-Ku. Mereka menyertai Aku berjalan sampai ke Bukkapatnam. Sepanjang jalan mereka menangis dan bertanya kepada-Ku, kapan Aku akan kembali.

Kemurnian dan Rasa Terimakasih

Akan tetapi pendidikan modern dewasa ini membuat tabiat manusia merosot. Rasa berterimakasih sudah lenyap. ( Ke-banyakan orang ) kasihnya tidak murni. Itulah sebabnya seluruh negeri menderita.

Pada masa itu orang-orang saling menghormati. Suatu kali ketika Aku kembali dari Bukkapatnam, ada seorang ibu yang sedang membersihkan kutu di rambut anaknya sambil mengunyah sirih. Tanpa melihat Aku, ia meludah. Ludahnya bepercikan di seluruh baju-Ku. Ia merasa amat sedih. Orang-orang desa penuh kasih sayang. Dimintanya Aku menanggalkan kemeja-Ku lalu dicucinya baju itu. Seperti itulah rasa terimakasih yang diperlihatkan oleh penduduk desa. Kemurnian dan rasa terimakasih harus mengalir dalam darahmu. Tidak ada keselamatan bagi orang yang tidak tahu terimakasih.

Kemampuan penglihatan kita merupakan anugerah Surya. Chandrama manaso jathaha, chakshoh suuryah ajaayatha. Artinya ‘bulan timbul dari pikiran Yang Mahatinggi dan matahari timbul dari mata Beliau’. Surya mengambil kembali kemampuan penglihatan dari orang yang tidak tahu terimakasih sehingga mereka menjadi buta.


Kondama Raju

Kalian semua tahu tentang Kondama Raju. Ia penyanyi yang baik. Bila ia menuturkan kisah Lakshmana yang pingsan di medan laga, orang-orang sedesa berkumpul untuk mendengarkan. Dalam film Anjali Devi ( bintang film yang membuat film mengenai kehidupan Shirdi Baba dan Sri Sathya Sai Baba, keterangan penerjemah ) pasti kalian telah melihat bagaimana ia diperankan. Ia mencapai usia 112 tahun. Setiap pagi ia datang berjalan sampai ke mandir ini. Suatu hari Aku pergi menemuinya. Kemudian ia bertanya kepada-Ku, “Swami, berapa lama lagi saya akan hidup? Kapan saya akan meninggalkan tubuh ini?” Kukatakan kepadanya bahwa Aku akan datang kepadanya bila saat itu tiba. Beberapa hari kemudian Aku berjalan ke desa. Ia merasa dan berseru memanggil Iishvaramma, “Iishvaramma, Swami datang. Aku harus pergi sekarang.” Ia minta agar Iishvaramma mengambilkan segelas air. Kemudian ia mohon agar Swami minum air dari gelas itu dan memberikan sisanya kepadanya. Aku bepura-pura minum sedikit dan setelah itu ia menghabiskan sisanya. Sebelum meninggal ia berkata kepada-Ku, “Saya mempunyai sebuah toko kecil. Saya tidak pernah menipu siapa pun. Akan tetapi mungkin secara tidak sengaja saya lupa mengembalikan satu atau dua paisa ( satu rupi = 100 paisa ) kepada seseorang.

Swami lahir dalam keluarga kami. Garis keturunan Ratnakara telah disucikan. Karena itu, saya tidak boleh meninggalkan hutang. Swami harus memberi saya anugerah. Bila mereka membawa jasat saya dalam prosesi ( ke tempat perabuan ), biarlah sejumlah koin disebarkan di sepanjang jalan sehingga hutang saya lunas karena orang-orang memunguti uang itu.” Demikianlah ia meninggalkan raganya dengan tenang.

Ayah tubuh ini pun mempunyai bisnis kecil. Ia sering bergegas pergi ke Bukkapatnam bahkan untuk ( mencarikan ) sebuah kelapa yang diperlukan para bakta. Demikianlah ia biasa menolong mereka semua. Suatu kali ia datang menemui Swami dan berkata bahwa ia ingin berbicara semenit dengan Aku. Pada waktu itu Aku telah memanggil suatu rombongan untuk interview. Kukatakan kepadanya bahwa Aku akan memanggilnya setelah interview dengan para bakta selesai. Akan tetapi ia berkata bahwa masalahnya sangat mendesak, karena itu, Kupanggil ia masuk. Pada masa itu tidak ada dompet atau kantong. Ia biasa mengikatkan uang di ujung sarungnya. Ia mengambil sejumlah koin, meletakkannya dalam tangan-Ku, lalu mohon agar Aku membagikan makanan untuk orang-orang miskin pada hari kesepuluh setelah ia meninggal. Ia juga memberitahukan bahwa ia telah menyimpan beras, gula merah, dan sebagainya untuk keperluan tersebut. Setelah itu ia pulang. Ia bermain sebentar dengan putra Janakiramayya ( adik laki-laki Swami ), Ratnakar. Ketika Iishvaraammaa datang, ia menyerahkan anak itu kepadanya lalu ia meninggal dengan tenang. Mereka yang menempuh hidupnya dengan baik dan suci akan memperoleh akhir yang suci tanpa menderita.

Iishvaraammaa

Iishvaraammaa juga mengakhiri hidupnya dengan suci. Pada kursus musim panas di Bangalore, sarapan untuk para siswa dihidangkan pada pukul 7.30 pagi. Dr.Gokak yang sangat berdisiplin biasa menyelenggarakan segala sesuatu secara tepat waktu. Iishvaraammaa sudah selesai sarapan dan duduk di serambi. Tiba-tiba ia berteriak, “Swami, Swami, Swami,” tiga kali. Aku sedang berada di kamar di loteng. Aku menjawab, “Datang, datang.” Ketika Aku sedang berjalan untuk menemuinya, ia minta agar Aku segera turun. Begitu Aku datang, ia memegang tangan-Ku lalu mengembuskan napas terakhir. Jiwa-jiwa yang murni memperoleh akhir hidup yang suci. Demikian pula halnya dengan Kondama Raju dan Pedda Venkama Raju; semuanya meninggal dengan tenang. Mereka semua dipilih oleh Swami. ( Hadirin bertepuk tangan ). Biasanya orang tua memilih anaknya, tetapi dalam hal Aku, anaklah yang memilih orang tuanya. Inilah kemuliaan kisah hidup Swami.

Sanjay Sahni berbicara mengenai para Avatar, itulah sebabnya Aku menceritakan aneka kejadian ini. Aku tidak pernah menyakiti siapa pun. Aku juga tidak pernah mengucapkan perkataan yang kasar. Paling-paling Aku memarahi seseorang dengan mengatakan Dunnapotha ‘kerbau jantan’. Aku selalu menganugerahkan kebahagiaan kepada orang lain. Semoga semuanya senang, semoga semuanya berbahagia. ( Hadirin bertepuk tangan ).

Semoga semuanya berusaha menempuh jalan spiritual dan meningkatkan rasa percaya diri. Hanya dengan kepercayaan pada diri sendirilah tujuan hidup seseorang dapat tercapai. Semua yang hadir di sini, semua yang tinggal di sini harus meningkatkan rasa percaya diri. Tanpa ini, hidup tidak ada gunanya. Atma adalah kehidupan. Seandainya pun manusia tidak mempunyai bakti, ia harus mempunyai rasa percaya diri. Setiap orang harus menikmati kebahagiaan atma. Apakah kebahagiaan? Kebahagiaan adalah kemanunggalan dengan Tuhan. Nikmatilah kebahagiaan kemanunggalan ini.

Hari ini adalah hari pertama perayaan Navaratri. Navaratri dipersembahkan kepada Maha Durga, Maha Kali, dan Maha Lakshmi. Ketiga aspek kekuatan Tuhan ini tidak berbeda, melainkan satu dan sama. Mereka berwujud energi. Saraswati adalah aspek Tuhan yang menguasai pembicaraan. Lakshmi adalah wujud kebahagiaan. Ketiganya ada dalam setiap manusia. Kita tidak perlu mencari mereka di tempat lain. Manusia mem-punyai sifat ketuhanan. Umat manusia adalah ( perwujudan ) Tuhan. Anggaplah manusia sebagai Tuhan dan tubuh sebagai pura Tuhan. Nikmati kebahagiaan Tuhan.

Bhagawan menyudahi wacana Belau dengan kidung suci, “Hari Bhajan Bina Sukha Shaanti Nahi,” ‘Tanpa Mengidungkan Nama Tuhan, Tiada Sukacita dan Kedamaian’.

Dari wacana Bhagawan pada perayaan Dasara di Pendapa Sai Kulwant, Prashaanti Nilayam, 1 Oktober 2000.

Diterjemahkan : Dra. Retno Buntoro