DASARA 2000 HARI 2

Wacana Bhagawan pada perayaan Dasara di pendapa Sai Kulwant, 2 Oktober 2000.

KEUTAMAAN DAN KARUNIA TUHAN


Bulan menerangi malam; matahari menerangi siang.
Darma adalah sumber penerangan bagi ketiga loka,
dan putra yang berbudi luhur
membawa terang serta kecemerlangan bagi seluruh marga.

( Sloka bahasa Sanskerta ).

Perwujudan kasih!

Bulan melenyapkan kegelapan malam. Demikian pula matahari menunjukkan jalan serta membimbing kita ke tempat tujuan pada siang hari. Akan tetapi, darmalah yang menerangi jalan bagi manusia di ketiga loka.


Putra yang Baik

Mungkin banyak putra yang lahir dalam suatu marga, tetapi tidak semua mendatangkan kemasyhuran bagi marga tersebut. Hanya putra yang berbudi luhur ( suputra )lah yang mendatangkan nama baik dan kemasyhuran bagi garis keturunannya. Seorang putra yang baik merupakan ideal dalam segala bidang kehidupan. Kelakuannya yang baik tidak hanya meluhurkan hidupnya, tetapi juga mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Putra yang baik dapat diibaratkan dengan lampu penerang jalan, ia menunjukkan jalan kepada orang-orang lain. Dengan pikiran yang teguh dan pandangan yang mantap, ia melihat Sang Pencipta dalam segala ciptaan, dengan demikian ia menolong dirinya sendiri serta orang-orang lain. Sejak zaman dahulu demikianlah kehidupan ideal seorang putra yang baik.



Hindari Sifat Mementingkan Diri


Pada zaman dahulu orang-orang tidak banyak mempunyai kesenangan dan kemudahan materiil, tetapi mereka menempuh hidup yang mulia dengan meningkatkan kepercayaan diri yang teguh dan sepanjang waktu menjaga cahaya atma ( aatma jyoti ) ini. Pada Zaman Kali ini sains dan teknologi maju pesat. Manusia modern telah memperoleh harta, kenyamanan, dan kemakmuran. Banyak orang yang kaya, berilmu, dan cerdas. Namun tidak ada kedamaian dan rasa aman dalam keluarga dan masyarakat. Hal ini timbul karena tiadanya kesabaran dan simpati di antara anggota-anggota keluarga yang tinggal serumah. Dewasa ini kedua keutamaan tersebut tidak tampak lagi dalam keluarga mana pun.

Mengapa manusia tidak mempunyai kedua kebajikan ini? Meningkatnya sifat mementingkan diri dan digunakannya kecerdasan untuk kepentingan diri sendiri telah menyebabkan kemerosotan ini. Karena inilah manusia menghancurkan hidupnya yang suci. Sejak dinihari hingga senja ia tenggelam dalam kecemasan. Tidak ada kerukunan atau kerja sama di antara para putra dalam satu keluarga. Mereka tidak memiliki simpati terhadap satu sama lain. Karena itu, masing-masing mengikuti kemauannya sendiri. Walaupun lahir sebagai manusia, mereka menempuh hidup yang lebih buruk daripada binatang. Sesungguhnya binatang lebih baik karena mereka mempunyai alasan dan musim. Binatang juga mempunyai simpati dan kesabaran, sedangkan manusia modern tidak mempunyai kedua kebajikan ini.

Tempat Tinggal dan Rumah

Manusia sudah menjadi egois. Ia hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri dan sama sekali tidak mempedulikan kebahagiaan orang atau makhluk lain. Setelah meraih beberapa gelar dan mengumpulkan harta, apa yang sebenarnya ia capai? Hanya kesengsaraan. Kesabaran dan simpati dapat diibaratkan dengan daya hidup. Orang yang tidak mempunyai kedua keutamaan ini dapat diibaratkan sebagai orang yang tidak bernyawa. Setiap anggota keluarga harus berusaha meningkatkan kesabaran dan simpati.

Dewasa ini tidak ada kasih dan simpati di antara anggota keluarga walaupun mereka tinggal serumah. Pada zaman dahulu tidak demikian halnya. Lima atau enam keluarga tinggal bersama dalam satu rumah kecil, tetapi mereka hidup rukun dan rumah itu menjadi tempat tinggal yang menyenangkan bagi semua penghuninya.

Ada perbedaan yang besar antara bangunan rumah dan suatu tempat tinggal yang menyenangkan. Jika ada toleransi dan simpati di antara para anggota keluarga, maka rumah itu menjadi tempat tinggal yang menyenangkan. Tiadanya toleransi dan simpati menyebabkan istana ( bhavanam ) menjadi rimba ( vanam ).

Demikianlah keadaan di istana Dasharatha. Ia telah menyelenggarakan banyak yajna serta yaaga dan karena itu ia memperoleh beberapa putra. Akan tetapi tiada toleransi dan simpati di antara ketiga permaisurinya. Karena itu, ia menemui ajalnya secara menyedihkan dalam penderitaan batin yang luar biasa karena terpisah dari Raama.

Uttaanapaada juga menghadapi situasi yang sama. Tidak ada toleransi dan simpati di antara kedua permaisurinya. Dhruva diperlakukan dengan buruk oleh ibu tirinya bila raja memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak itu. Hal ini membuat Dhruva yang lembut hati merasa sedih. Setelah memperoleh restu ibunya, ia pergi ke hutan ( untuk bertapa ) dan berjanji kepada ibunya bahwa ia akan kembali setelah memperoleh karunia Tuhan. Ia meninggalkan segala kesenangan hidup, bermeditasi kepada Tuhan, dan memperoleh karunia Yang Mahakuasa. Dengan demikian ia memenuhi janjinya kepada ibunya.

Kebahagiaan dan kesedihan dalam setiap keluarga tergantung pada satu fakta yaitu apakah ada kesabaran dan simpati dalam keluarga itu atau tidak. Dunia ini merupakan kombinasi suka dan duka, senang dan sakit, hal-hal yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. Kesenangan hanya dapat dinikmati bila manusia telah menanggung penderitaan; keadaan yang baik dan menguntungkan hanya dapat dirasakan bila ada keadaan yang tidak baik dan tidak menguntungkan. Di dunia ini, adanya atau tidak adanya kesabaran dan sifmpati merupakan penyebab kedua keadaan yang bertentangan tersebut.


Apakah Mukti?

Di dunia ini ada putra yang tidak menghormati orang tuanya dan membuat mereka tidak bahagia. Mereka tidak insaf bahwa orang tua telah melahirkan dan membesarkan mereka dengan banyak pengorbanan dan penderitaan. Putra semacam itu di satu pihak menyakiti hati orang tuanya, tetapi di lain pihak berdoa dan memuja Tuhan. Ini sama sekali tidak bisa disebut bakti yang benar. Bagaimana mereka dapat mencapai mukti, ‘kebebasan dari lingkaran kelahiran dan kematian’, dengan bakti semacam ini?

Apa yang sebenarnya dimaksud dengan kebebasan ( mukti )? Orang yang bodoh mengira bahwa kebebasan adalah menunggal dengan Tuhan setelah ajal tiba. Akan tetapi, tidak demikianlah halnya. Bebas dari segala kecemasan dan penderitaan adalah kebebasan sejati.

Mukti adalah keadaan senang, damai, dan penuh kebahagiaan jiwa setelah manusia membuang segala kesulitan, kesedihan, dan kecemasan. Memuaskan rasa lapar orang-orang miskin, membantu mereka yang melarat, melenyapkan kecemasan setiap orang, dan memenuhi hati mereka dengan kedamaian tertinggi membawa manusia ke jalan yang menuju mukti.

Mukti bukan suatu tempat terpisah yang harus kautuju dan kaucapai. Mukti yang demikian sederhana, tidak tampak, dan berada dalam jangkauan setiap orang, kini diabaikan oleh manusia. Ia mendambakan mukti setelah meninggal. Akan tetapi, mukti harus dialami ketika manusia masih hidup.

Yashodaa meratap karena terpisah dari Krishna ketika Beliau dipanggil oleh Kamsa agar datang menghadap di istananya. Sang ibu sangat khawatir ketika Krishna tidak segera kembali. Ia merasa tidak sanggup menanggung perpisahan dengan Krishna dan sepanjang waktu terus merindukan Beliau. Kerinduan yang mendalam kepada Tuhan seperti itu adalah mukti. Ketika mendengar bahwa Krishna sudah kembali, ia merasa luar biasa bahagia. Mukti atau ‘kebebasan’ ( yang dialami sewaktu hidup ) di dunia ini hanya dapat dicapai oleh manusia.



Gunakan dengan Baik Masa Hidup Manusia yang Singkat

Kehidupan manusia itu suci, luhur, indah, dan patut dipuji, tetapi tidak lama. Dalam jangka hidup yang terbatas ini manusia harus menyibukkan diri dengan pikiran yang benar dan berbagai perbuatan yang baik. Ada banyak tugas baik yang harus dilakukan dalam kehidupan ini.

Dengan kecerdasan kita, kita dapat mengerjakan dan menyelesaikan apa saja. Dengan kebulatan tekadnya, manusia dapat mencapai langit dan menaklukkan dunia. Akan tetapi, kini manusia kehilangan kemampuan ini. Apa sebabnya? Sebabnya yaitu ia tidak dapat mengendalikan indranya dan tidak mampu membebaskan diri dari kelemahan ini. Semakin tidak bisa mengendalikan indranya, manusia akan menjadi semakin lemah. Dengan hilangnya kekuatan indra dan badan, manusia menjadi lekas tua dan umurnya menjadi pendek

Agar panjang umur dan awet muda, kekuatan indra harus ditingkatkan dengan cara dikendalikan. Jangan memiliki kelekatan pada badan. Jika manusia tidak mampu mengendalikan indra dan juga melekat pada badannya, alangkah menyedihkan keadaannya. Kedua hal ini dapat diibaratkan dengan dua lubang pada panci yang berisi air. Air yang dituangkan ke dalam panci berlubang itu akan segera mengalir habis. Demikian pula bejana hati kita penuh dengan madu karunia Tuhan. Kitab-kitab suci menyebut manusia sebagai amrtasya putraah, artinya, ‘putra keabadian’. Akan tetapi, karena menjadi budak indranya, manusia merosot menjadi anrtasya putraah ‘putra kebohongan’.

Tuhan telah menganugerahkan kekuatan yang tak terhingga pada manusia. Namun, karena kedua kelemahan ini, ia telah kehilangan segenap kekuatannya dan memperpendek umurnya.
Dalam masa hidup yang terbatas ini, perbuatan baik apa yang dapat dilakukannya? Bagaimana ia dapat bekerja untuk kesejahteraan masyarakat? Kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia harus digunakan sebaik-baiknya dengan menyibukkan diri dalam satsangga ‘pergaulan yang baik’, satpravartana ‘kelakuan yang baik’, dan seva ‘darmabakti bagi masyarakat. Hanya dengan demikianlah kemampuannya akan meningkat. Karena manusia tidak menyibukkan diri dalam kegiatan yang luhur ini, ia dikuasai oleh indranya yang sangat kuat. Manusia menghambur-hamburkan kekuatannya yang tidak terbatas dengan mengumbar hawa nafsunya.


Tuhan adalah Saksi Segala Sesuatu

Suatu kali Arjuna bertanya kepada Krishna, “Bagaimana saya dapat mencapai Tuhan dengan pikiran saya yang sering ragu ini?” Krishna menjawab bahwa hanya keyakinan yang teguh kepada Tuhan dapat memberinya kemantapan. Orang yang tidak mantap mempunyai banyak keraguan. Bila keraguan meningkat melampaui batas, orang yang bersangkutan menjadi orang yang “kotor”. Hati yang murni tidak pernah merasa sangsi. Hati menjadi tidak murni akibat sampah keraguan. Orang yang hatinya tidak murni meragukan segala sesuatu. Ia bahkan mulai meragukan ibunya sendiri. Bagaimana toleransi dan simpati dapat tumbuh dalam diri orang semacam itu?


Sifat Mementingkan Diri


Kini segala perbuatan manusia digerakkan oleh sifat mementingkan diri. Sifat mementingkan diri sudah merasuk ke dalam pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Manusia hidup seperti wayang yang digerakkan oleh tangan jahat yaitu sifat mementingkan diri sendiri. Bila sudah dikuasai oleh sifat mementingkan diri, bagaimana manusia bisa maju?

Orang yang tanpa pamrih akan jaya dalam segala kegiatannya. Paandava menghadapi berbagai kesulitan dan penghinaan, meskipun demikian mereka mencapai kemenangan karena mereka percaya kepada Krishna. Itulah sebabnya orang-orang pada zaman dahulu berusaha meningkatkan kepercayaan pada diri sendiri, keyakinan yang teguh, toleransi, dan simpati. Mereka biasa hidup rukun seperti saudara lelaki dan perempuan.

Akan tetapi, di dunia dewasa ini ada kebiasaan untuk menyangkal hal-hal yang dikatakan oleh orang lain. Berdebat untuk menyadari kebenaran merupakan hal yang baik, tetapi berdebat sekadar untuk menyangkal segala hal yang dikatakan orang lain merupakan perbuatan yang bodoh. Ini tidak baik. Ada sebuah contoh.

Seorang cendekiawan yang hebat bernama Pancashikha berkunjung ke istana Raja Janaka. Raja meminta agar ia berdebat mengenai Veda dan Shaastra dengan cendekiawan istananya. Seorang cendekiawan di istana Janaka menantang bahwa ia akan menyangkal apa saja yang dikatakan oleh Pancashikha. Pancashikha tertawa dan menerima tantangan itu. Ia berpikir, “Menyangkal segala sesuatu tidak menunjukkan kecendekiawanan, melainkan perbuatan yang bodoh. Hanya orang yang telah mempelajari Veda dan Shaastra adalah cendekiawan dan orang semacam itu bersifat tenang serta seimbang. Tetapi, karena orang sinting ini berkata bahwa ia akan menyangkal apa pun yang kukatakan, ia tidak layak menjadi cendekiawan di istana Raja Janaka.” Sambil berpikir demikian Pancashika mengajukan pertanyaan pertamanya kepada cendekiawan tersebut, “Tuan, Anda dilahirkan oleh ibu Anda, bukan?” Bagaimana cendekiawan itu dapat menyangkalnya? Ia bungkam seribu bahasa. Kemudian Pancashika mengajukan pertanyaan kedua, “Apakah Anda seorang manusia?” Bagaimana ia dapat mengatakan “bukan”? Ketika perdebatan berlangsung seperti ini, Janaka berpikir, “Pancashika benar-benar cendekiawan yang hebat! Hanya orang yang sama sekali tidak berprasangka dapat berdebat seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu merupakan satu-satunya cara untuk menginsafkan si pandir.”

Seseorang tidak menjadi cendekiawan hanya dengan membaca Shaastra dan melantunkan sloka. Ia hanya menjadi cendekiawan jika mampu memahami kemenunggalan dalam keanekaragaman. Penyair Tamil, Nammalwar, mengatakan hal yang sama, “Manas merupakan saksi pikirannya sendiri. Sifat-sifat manusia merupakan saksi tubuhnya sendiri. Tuhan merupakan saksi segala sesuatu. Dan untuk orang yang bodoh, kebodohannya merupakan saksi.”

Seorang raja mempunyai pelayan yang dianggapnya bodoh. Suatu hari sang raja sakit payah. Pelayan itu menghadap dan bertanya kepada raja kalau-kalau ada yang dapat dilakukannya untuk beliau. Raja menjawab, “Masa hidup amat berharga yang dianugerahkan Tuhan kepadaku sudah hampir berakhir. Aku siap mematuhi perintah Tuhan dan meninggalkan dunia ini.” Si pelayan mohon agar raja menunggu dan bertanya bagaimana raja dapat bepergian jika beliau demikian lemah. Kemudian dibawanya seekor kuda untuk tunggangan raja dalam perjalanannya! Raja berkomentar, “Teman yang bodoh! Kuda, kereta, maupun kendaraan lain tidak ada yang dapat membawaku ke sana.” Sebagai tanggapan atas komentar raja, pelayan itu berkata, “Tuan berkata bahwa Tuan akan pergi, tetapi Tuan tidak tahu ke mana Tuan akan pergi dan dengan cara bagaimana Tuan akan pergi ke sana. Tuan tidak mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Bersamaan dengan itu, Tuan menyebut saya bodoh. Jadi, siapa sebenarnya yang bodoh, Tuan atau saya?” Orang-orang yang bodoh berdebat seperti itu. Pada Zaman Kali ini perdebatan semacam itu menjadi lazim. Perdebatan yang tidak berguna dan tidak perlu sesungguhnya menghancurkan kecerdasan manusia.


Kisah Masa Kanak-kanak

Pagi ini ketika Aku kembali dari mandir, Raamana Rao ( dari Hyderabad ) berkata, “Swami, bila mendengarkan cerita tentang masa kanak-kanak Swami kami merasa sangat bahagia. Mohon agar dalam darmawacana setiap hari Swami menceritakan beberapa kejadian dari kehidupan masa kanak-kanak Swami.” Itulah sebabnya mengapa Kuceritakan masa kanak-kanak-Ku kepada kalian.

Pemisahan Keluarga

Kondama Raju ( kakek Swami ) dan Subba Raju adalah kakak beradik. Subba Raju meninggal ketika masih muda. Ia mempunyai dua anak laki-laki, Venkata Raama Raju dan Venkata Subba Raju. Setelah Subba Raju meninggal, kedua anak laki-lakinya tinggal bersama kedua putra Kondama Raju yaitu Pedda Venkama Raju ( ayah Swami ) dan Chinna Venkama Raju. Suatu hari Kondama Raju berkata kepada-Ku, “Sathya, hati-Mu suci. Apa pun yang Kaukatakan selalu sarat kebenaran. Karena itu, Kakek ingin menanyakan suatu hal kepada-Mu. Kakek berpikir sebaiknya keempat bersaudara ( yang tinggal serumah ) ini dipisahkan. Apa pendapat-Mu?” Kujawab, “Ini keputusan yang baik sekali karena keempat keluarga ini tidak mempunyai kesabaran dan simpati. Karena itu, lebih baik mereka mempunyai rumah tangga yang terpisah.” Kondama Raju bertanya bagaimana Aku mengetahui hal ini. Kukatakan, “Aku dapat mendengar perkataan mereka, melihat perbuatan mereka, dan merasakan niat mereka. Apakah bukti ini tidak cukup?” Kondama Raju mengikuti perkataan-Ku. Dipanggilnya keempat bersaudara itu dan diberitahunya mereka agar tinggal secara terpisah dengan bahagia. Dikatakannya kepada mereka, “Sebaiknya kalian memikul tanggung jawab ( rumah tangga ) dan menempuh hidup kalian sendiri-sendiri.” Mereka langsung setuju karena para wanita di rumah itu sudah kehilangan kesabaran dan simpati. Kondama Raju membagikan segala harta bendanya kepada keempat saudara tersebut. Mereka bertanya kepadanya, “Siapa yang akan merawat Ayah dan di mana Ayah akan tinggal?” Kondama Raju berkata, “Aku tidak menginginkan apa-apa. Berilah aku Sathya. Ialah hartaku! Ia akan mengurusku.”


Sri Kondamaraju dan Bhagawan

Pada waktu itu Aku berusia delapan tahun. Aku biasa memasak makanan dini hari, menghidangkannya untuk Kondama Raju, kemudian berlari ke Bukkapatnam sambil membawa buku-buku-Ku. Bila bel untuk istirahat makan siang berbunyi pada pukul 1.00, Aku berlari pulang ke desa, makan sedikit, lalu berlari kembali ke Bukkapatnam.

Kondama Raju merasa bahwa Aku terlalu memaksakan diri. Karena itu, ia meminta-Ku agar membawa bekal makanan ke sekolah dan tidak pulang pada siang hari. Pada masa itu tidak ada rantang baja anti karat atau wadah plastik, bahkan panci aluminium pun masih langka. Aku biasa membawa bekal ragi (elucine coracana, biji-bijian seperti juwawut bewarna coklat yang dibuat tepung dan merupakan makanan orang miskin di India Selatan, keterangan penerjemah) yang digelindingi bulat-bulat dan dibungkus kain untuk makan siang di sekolah. Bila bel untuk istirahat makan siang berbunyi, semua pelajar yang datang dari berbagai desa ( Karnatanagapalli, Janakampalli, Putta- parthi, Kammavaripalli ) berkumpul di dekat waduk Bukkapatnam. Mereka membawa bekal nasi sedangkan Aku miskin dan hanya mempunyai bekal bola ragi. Untuk menjaga kehormatan keluarga biasanya Aku menjauhi kumpulan pelajar tersebut dan makan di tempat yang terpisah. Setiap orang harus menjaga dan menjunjung kehormatan keluarganya. Jika kelakuanmu tercela, keluargamu akan mendapat nama buruk. Kalau pelajar lain melihat Aku makan bola-bola ragi, mereka akan beranggapan bahwa aku berasal dari keluarga miskin. Aku tidak mau menjatuhkan nama keluarga-Ku.



Hari berikutnya Kukatakan kepada Kondama Raju bahwa Aku akan pulang untuk makan sekalipun agak sulit bagi-Ku. Bahkan dalam kesukaran pun terdapat kebahagiaan. Kesenangan merupakan interval di antara dua kepedihan. Tanpa penderitaan tidak akan ada kesenangan. Manusia harus bekerja keras untuk menikmati kebahagiaan. Untuk membuat perhiasan dari emas, pertama-tama emas itu harus dimasukkan ke dalam api, kemudian ditempa, dipotong, dibentuk, dan dilas. Hanya dengan demikianlah emas itu menjadi perhiasan. Karena itu Aku berkata, “Kakek, saya siap bekerja keras. Ini bukan kesulitan; ini juga olah raga yang baik buat saya.” Kondama Raju berkata kepada-Ku, “Olah raga ini terlalu berat untuk bocah berumur delapan tahun.” Ia sangat menyayangi Aku. Ia tidak mempercayai siapa pun selain Aku. Apa pun yang Kukatakan merupakan kebenaran baginya. Itulah sebabnya ia meninggal secara suci. Seringkali Iishvaraammaa mendesak Kondama Raju agar datang dan tinggal dengan keempat putranya, setidak-tidaknya untuk beberapa waktu. Iishvaramma memberitahu Kondama Raju bahwa keempat putra beliau siap melayani ayah mereka, Iishvaramma juga bertanya apakah putra-putra beliau tidak layak melayani ayahnya. Meskipun demikian, Kondama Raju menolak saran itu dengan berkata bahwa ia mempunyai Sathya bersamanya dan ia tidak memerlukan orang lain. Ia mempunyai keyakinan yang demikian teguh kepada-Ku.

Setelah Mandir Baru diresmikan pada tanggal 23 November 1950, Kondama Raju biasa datang setiap pagi dan sore untuk mengunjungi Aku. Kukatakan kepadanya, “Mengapa Anda memaksakan diri berjalan sejauh itu? Anda bisa tinggal di rumah. Aku akan datang dan menjenguk Anda!” Ia menjawab bahwa ini merupakan olah raga bagi orang seusianya. Ia menggunakan jawaban yang dahulu Kuberikan kepadanya! Pada waktu itu ia berusia 112 tahun. Bahkan pada usia itu pun ia dapat berjalan dengan mantap. Pada waktu itu Aku mempunyai kebiasaan makan sirih dari pagi sampai sore. Suatu hari Kondama Raju Kutawari biji pinang dan bubuk biji pinang. Ia menolak bubuk biji pinang itu sambil berkata bahwa giginya masih kuat, kemudian diambilnya biji pinang dan segera dikunyahnya sampai habis. Ia tidak pernah memakai kaca mata dan dapat berjalan jauh.

Orang tua-tua pada masa itu memperoleh kekuatannya dari pengendalian indra. Mereka tidak mempunyai kelekatan pada tubuhnya. Mereka hidup untuk melaksanakan tugasnya. Orang-orang ( yang mulia ) seperti itu ada dalam setiap keluarga. Itulah sebabnya Tyaagaraaja bernyanyi di istana Raja Travancore, “Ada banyak jiwa yang mulia. Saya menyampaikan hormat kepada mereka semua.” (Endaroo mahanubhavulu. Andariki vandanamulu!” . Dahulu mereka biasa mengawali acara apa saja dengan menyampaikan hormat kepada hadirin. Akan tetapi, siswa kita mengawali bicaranya dengan menyebut hadirin sebagai “saudara-saudari”. Semua ini perkataan yang tidak ada artinya. Bagaimana orang tua-tua bisa menjadi saudara-saudarimu? Ini merupakan cara bicara yang dibuat-buat. Dalam suatu pertemuan semacam itu, ada orang yang bangkit dan bertanya kepada pembicara, “Anda menyebut saya sebagai saudara Anda. Saya miskin, karena itu berilah saya sebagian harta Anda!” Apakah pembicara itu bersedia membagikan hartanya? Ia sekadar menyebut mereka sebagai saudara dan saudari tanpa niat itu. Jadi, mengapa engkau menggunakan kata “saudara-saudari”? Ini menjadi sebutan palsu. Aku tidak suka perkataan-perkataan yang palsu. Itulah sebabnya Aku selalu menyebut kalian sebagai “perwujudan kasih”! Kasih adalah harta-Ku. Kasih itu juga ada di dalam dirimu. Karena itu, Kusebut kalian perwujudan kasih. Aku tidak pernah menjadi majikan. Aku seorang pelayan, pelayan para bakta. Aku selalu menyertai para bakta, mengabulkan keinginan-keinginan mereka.

Ini sebuah contoh kecil. Kalian tidak datang menemui Aku untuk mengambil namaskaara. Aku datang menemui kalian untuk memberikan namaskaara. ( Hadirin bertepuk tangan ). Apa artinya? Aku milik kalian. Kalian tidak perlu bangkit untuk menemui Aku. Aku akan datang kepada kalian. Semua masalahmu akan Kuambil alih. Dengan cara ini Aku melaksanakan dan menujukkan apa pun yang Kukatakan. Kalian pun harus melakukan hal yang sama.

Studi yang baik untuk umat manusia adalah mempelajari manusia. Harus ada kesatuan pikiran, perkataan, dan perbuatan. Terutama para siswa harus menyadari hal ini. Tidak cukuplah menyanjung-nyanjung Durgaa, Lakshmii, dan Saraswatii dalam puisi dan nyanyian. Jika kautingkatkan sifat-sifat yang baik, engkau sendiri akan menjadi Lakshmii. Begitu engkau dapat mengendalikan indra dan pikiranmu, engkau akan menjadi Durgaa. Bila engkau mengucapkan kebenaran, engkau akan menjadi Saraswatii. Sebutan lain untuk Saraswatii yaitu Bhaaratii. Sejumlah orang berkata bahwa negeri kita Bhaarat dinamai menurut Raja Bharata, saudara Sri Raama. Akan tetapi, siapa yang menamai mereka? Semua nama ini harus ada dasarnya. Dasar itu adalah nama Saraswatii yaitu Bhaaratii.


Bhaarat dan Bhaaratii

Brahma adalah pencipta, tetapi yang memelihara ciptaan itu Saraswatii. Nama beliau Bhaaratii. Negeri ini dinamai menurut beliau. Akan tetapi, hal ini tidak banyak diketahui. Banyak rahasia semacam itu dalam kebudayaan India. Namun sedikit sekali orang yang berusaha mengetahui rahasia yang terkandung dalam Veda, Shaastra, dan Itihaasa.

Intisari wacana ini yaitu engkau harus meningkatkan kesabaran dan simpati, keutamaan yang sangat penting. Keluarga yang kurang memiliki keutamaan-keutamaan ini tidak akan pernah damai. Mungkin sejumlah orang menyatakan bahwa ( keluarga ) mereka damai, tetapi itu hanya kedamaian sementara. Orang yang sabar dan penuh simpati selalu bahagia sepanjang waktu. Aneka keinginan yang lambat laun menjadi sangat besar, merupakan pangkal penyebab merosotnya kedua keutamaan ini. Keinginan yang tidak terpenuhi menimbulkan kekhawatiran yang terus meningkat. Ada dikatakan,

“Lahir merupakan kecemasan, berada di bumi merupakan kecemasan; dunia merupakan penyebab kecemasan, demikian pula kematian; seluruh masa kanak-kanak merupakan kecemasan; demikian pula usia tua; hidup adalah kecemasan, kegagalan merupakan kecemasan, segala kegiatan dan kesulitan menyebabkan kecemasan; bahkan kebahagiaan pun merupakan kecemasan yang misterius.”

( Puisi bahasa Telugu ).


Bagaimana manusia dapat hidup tanpa kekhawatiran, jika ia duduk di bawah naungan pohon asam kecemasan? Dengan meresapkan keutamaan kesabaran serta simpati ke dalam hatimu, engkau dapat membuat bicaramu, pandanganmu, dan pendengaranmu menjadi manis. Kemudian hidupmu akan penuh kemanisan dan keindahan. Mengenai Sri Krishna ada dikatakan,

Vachanam madhuram, nayanam madhuram, shravanam madhuram, madhuraadhipateerakhilam madhuram.” ‘Perkataan Beliau manis, mata Beliau indah, telinga Beliau indah. Beliau adalah penguasa kemanisan dan keindahan. Beliaulah perwujudan kemanisan dan keindahan’.

Karena itu, jika hatimu penuh kasih, prinsip kasih itu akan terungkap dalam bicaramu, pandanganmu, pendengaranmu, dan perbuatanmu. Jangan pernah memiliki sifat-sifat buruk seperti kebencian dan iri hati. Aku selalu merasa senang bila orang lain bahagia dan makmur. Dalam hidup-Ku satu kali pun Aku tidak pernah merasa iri. Bagaimana rasa iri dapat masuk ke dalam hati-Ku yang penuh kasih? Kadang-kadang Aku memang berpura-pura marah, tetapi itu hanya untuk memperbaiki engkau. Kalau Aku berbicara dengan manis kepadamu, mungkin engkau tidak menghiraukan perkataan-Ku. Kalau Aku berbicara dengan keras, “Kembali!” engkau ketakutan dan berkata bahwa Aku marah. Akan tetapi, itu bukan kemarahan, hanya perubahan nada suara. Aku sama sekali tidak mempunyai rasa marah, benci, iri hati, dan sama sekali tidak mempunyai sifat buruk! Kalau Aku mempunyai sifat-sifat buruk semacam itu, bagaimana mungkin demikian banyak orang dari mancanegara datang ke sini? ( Hadirin bertepuk tangan ). Kasih-Kulah yang mendasari semua ini. Aku mencurahkan kasih-Ku kepada kalian dan Aku menerima kasih kalian; inilah tugas utama-Ku.

Ketika datang untuk menyampaikan darmawacana sore ini, di sepanjang jalan Aku terbatuk-batuk. Para siswa bertanya-tanya dalam hati bagaimana Aku dapat menyampaikan wacana. Akan tetapi, begitu Aku mulai berbicara, segala penyakit-Ku lenyap.(Hadirin bertepuk tangan). Aku selalu sehat, tetapi masalah semacam itu memang terjadi di dunia materiil ini.

Betapapun cerdas, terpelajar, dan hebatnya seseorang, ia selalu tenggelam dalam berbagai pikiran dan keinginan duniawi. Kelekatan pada tubuh, tiadanya pengendalian indra, dan aneka keinginan yang tidak terbatas menyebabkan manusia bersifat keduniawian. Orang yang mempunyai perasaan-perasaan semacam itu menjadi sasaran berbagai penyakit dan kesulitan. Banyak orang bertanya kepada-Ku, “Swami, usia Swami sekarang sudah lanjut. Apakah Swami memakai kaca mata?” Aku balik bertanya, “Pernahkah engkau melihat Aku memakai kaca mata? Jadi, mengapa engkau menanyakannya kepada-Ku?” Aku tidak memerlukan kaca mata karena penglihatan-Ku sempurna.

Banyak orang-orang lanjut usia mohon izin-Ku untuk menjalani operasi mata. Namun Kukatakan kepada mereka bahwa satu mata sudah cukup untuk melihat dunia! Engkau tidak kehilangan apa pun dengan hilangnya satu mata. Demikian pula satu telinga sudah cukup untuk mendengarkan segala sesuatu. Manusia memerlukan mata kebijaksanaan untuk melihat Tuhan. Mengapa manusia memejamkan mata di hadapan patung Tuhan di pura? Mata jasmani tidak cukup untuk melihat Tuhan, engkau memerlukan mata kebijaksanaan. Mata jasmani membantu kita melihat dunia lahiriah. Ini pravritti drishti ‘pandangan ke dunia luar’. Yang satu lagi adalah nivritti drishti ‘pandangan ke dalam batin atau pandangan spiritual’. Bila engkau hidup di dunia, pandangan ke dunia luar ini diperlukan. Akan tetapi, jangan melihat hal yang buruk ( artinya juga: lihatlah segala sesuatu tanpa prasangka ), jangan mendengarkan hal yang buruk, terutama jangan pernah mendengarkan pembicaraan yang mengecam orang lain. Mengecam orang lain merupakan dosa terburuk. Jangan mengecam, menyalahkan, atau menertawakan siapapun. Berbicaralah dengan lemah lembut dan menyenangkan kepada semuanya. Inilah yang perlu kalian lakukan.

Toleransi dan simpati sangat penting. Hanya dengan demikianlah manusia dapat mencapai penerangan batin. Apa gunanya mempunyai toleransi jika tidak kaugunakan dengan benar? Jika dalam suatu rumah tangga ada seseorang yang meninggal, orang-orang menyatakan simpatinya kepada keluarga yang kehilangan dengan menanyakan berbagai hal mengenai orang yang meninggal itu. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan semacam itu hanya dapat memberikan penghiburan yang bersifat sementara. Jika kaukatakan secara terus terang kepada mereka bahwa setiap orang harus menemui ajalnya, mereka akan beranggapan bahwa engkau kasar. Bila engkau berbicara secara menyenangkan, mereka mengira engkau lemah lembut dan ramah. Jika orang-orang memberitahu Aku tentang kematian dan penyakit, Aku berkata, “Sangat bahagia.” Ada orang yang menjadi marah karena hal ini dan bertanya kepada-Ku, “Swami berkata bahwa Swami bahagia kalau saya meninggal?” “Kematian itu tidak dapat dielakkan, jika tidak sekarang, ajal akan datang pada suatu hari, entah kapan! Kebenaran memberikan kebahagiaan sejati, karena itu, Aku mengucapkan kebenaran!” Ketika Kujawab seperti itu, ia menjadi tenang lagi.

Siswa yang tadi berbicara menyatakan, “Ikuti Master.” Siapakah Master? Master adalah suara hatimu. Hadapi iblis; jauhkan dirimu dari kejahatan. Berjuanglah sampai saat terakhir; teruslah berusaha sampai saat terakhir. Selesaikan permainan. Hidup adalah permainan, tinggalkan dengan kemenangan ( Pada waktu meninggalkan raga, Anda harus sudah mencapai tujuan hidup yaitu kesadaran diri sejati, sehingga tidak perlu kembali lagi, keterangan penerjemah ). Inilah arti yang sebenarnya, walaupun orang yang berbeda menafsirkannya secara berlainan. Obat yang sesuai harus diberikan kepada setiap pasien secara pribadi.

Bila empat orang yang menderita sakit perut berkonsultasi kepada dokter, dokter itu memberikan empat pengobatan yang berbeda kepada mereka masing-masing: kompres dengan air panas untuk pasien yang satu, campuran soda bikarbonat untuk pasien kedua, garam untuk pasien ketiga, dan operasi untuk pasien keempat. Pasien keempat mungkin mengira bahwa dokter itu pilih kasih. Akan tetapi, hanya sang dokter yang tahu apa yang harus dilakukan untuk mengobati setiap penyakit. Siapakah dokter itu? Vaidyoo Naaraayanoo Harih ‘Tuhanlah dokter yang sejati’. Tuhan tahu pengobatan yang tepat untuk segala penyakit dan kesulitanmu.


Beberapa kesulitan timbul bila indra menjadi lemah atau terganggu. Ini sebuah contoh peristiwa semacam itu. Suatu kali seorang anak laki-laki yang menderita diare pergi berkonsultasi kepada dr. Alreja. Dr. Alreja adalah orang yang baik sekali dan bekerja dengan sangat sabar. Walaupun sudah berusia sembilan puluh tahun, ia selalu pergi ke rumah sakit dengan berjalan kaki. Akan tetapi, pendengarannya sudah sangat berkurang. Walaupun sudah mengenakan alat bantu pendengaran, ia masih tidak dapat mendengar dengan baik. Anak laki-laki itu mengeluh diare. Dr. Alreja tidak dapat mendengar dengan baik dan mengira anak itu menderita sembelit, karena itu ia memberikan resep obat pencuci perut. Kekeliruan terjadi jika dokter tidak mendengarkan keluhan pasien dengan baik. Namun, karena resep obat itu diberikannya dengan niat yang baik, anak itu segera sembuh. Apa pun yang dilakukan dengan niat yang baik akan memberikan hasil yang baik.

Apa pun yang Kulakukan, Kulakukan demi kebaikanmu. Mungkin Aku marah kepadamu atau menegurmu, semua itu demi kebaikanmu, bukan untuk kepentingan-Ku. Aku tidak mempunyai keinginan apa-apa; apa pun yang Kulakukan, akan baik untukmu!

Bhagawan menyudahi wacana Beliau dengan kidung suci, “Prema mudita manase kaho…” ‘Dengan hati penuh kasih’.

Dari wacana Bhagawan pada perayaan Dasara di pendapa Sai Kulwant, Prashaanti Nilayam, 2 Oktober 2000.

Diterjemahkan : Dra. Retno Buntoro