DASARA 1999 HARI - 4

Wacana Bhagawan pada hari keempat perayaan Dasara, 17-10-1999

USAHAKAN AGAR HIDUPMU BERGUNA
DAN BERMAKNA


Brahmaanandam paramasukhadam kevalam jnaanamurtim
Dvandvaatiitam gaganasadrisham tattvamaasyadi lakshyam
Ekam nityam vimalam achalam sarvadhii saakshibhutam
Bhaavatiitam trigunarahitam sadgurum .…

( Sloka bahasa Sanskerta ).

Perwujudan kasih!

Manusia harus meningkatkan sifat-sifat yang luhur agar dapat memahami rahasia dan makna mendalam yang terkandung di dalam Veda. Istilah-istilah yang digunakan dalam Veda melampaui batasan ruang dan waktu. Sebagai contoh, pertimbangkan kata Brahmaanandam. Artinya ‘kebahagiaan abadi’. Perkataan semacam itu tidak dapat dipahami jika kita membandingkannya dengan kegembiraan yang diperoleh dari kesenangan duniawi atau lokaananda. Brahma berasal dari akar kata brihat yang berarti ‘keluasan’. Brahmaanandam adalah kebahagiaan sejati yang abadi dan tidak berubah. Brahmaanandam juga dapat disebut advaitaananda, artinya ‘kebahagiaan yang berasal dari penghayatan kemanunggalan’. Brahmaanandam juga dapat dilukiskan sebagai nirgunaananda dan niraakaaraananda ‘kebahagiaan jiwa yang melampaui wujud dan sifat’.

Paramasukhadam berarti ‘kebahagiaan tertinggi’. Kebahagiaan ini tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan duniawi dan kesenangan sensual. Kebahagiaan ini sama dengan penghayatan kebahagiaan yang abadi.

Kevalam berarti ‘yang melampaui batasan waktu, ruang, dan keadaan’.

Jnaanamuurtim berarti ‘orang yang bijaksana’. Di sini jnaana menunjukkan penghayatan kemanunggalan. Penghayatan ini melampaui tubuh, pikiran, dan akal budi. Advaita darshanam jnaanam ‘penghayatan non-dualitas adalah kebijaksanaan sejati’. Bagaimana manusia dapat memahami kebijaksanaan yang tiada bandingnya ini? Kitab-kitab Veda berisi banyak perkataan semacam itu, sarat dengan makna yang mendalam dan suci. Hanya Tuhan yang tidak bersifat, purwakala, abadi, selalu baru, murni, dan tidak bercela, dapat mengungkapkan makna yang terkandung di dalam prinsip-prinsip Veda.

Dvandvaatiitam berarti yang melampaui segala dualitas seperti suka dan duka, baik dan buruk, pahala dan dosa, dan sebagainya.

Trigunarahitam menunjukkan ( Tuhan ) yang melampaui ketiga sifat sattva, rajas, dan tamas. Sifat berkaitan dengan wujud. Karena itu, Yang Tidak Berwujud juga tidak bersifat.

Veda berisi empat mahaavaakya ‘pernyataan mulia’ yaitu: ( 1 ) “Prajnaanam Brahma,” artinya ‘pengetahuan ( ke-sunyataan ) adalah Brahman’, ini merupakan intisari Rig Veda. ( 2 ) “Ayam aatma Brahma” artinya ‘Atma ini adalah Brahman’, merupakan intisari Atharva Weda. ( 3 ) “Tat tvam asi,” artinya ‘Itu ( Tuhan Yang Mahabesar dan tidak terlukiskan ) adalah engkau’, ini merupakan intisari Sama Weda. ( 4 ) “Aham Brahmaasmi,” artinya ‘Akulah Brahman’ merupakan intisari Yajur Weda. ( Sesungguhnya ) prinsip Tuhan yang tidak bersifat bahkan melampaui keempat pernyataan ini.

Ekam nityam menunjuk pada yang abadi dan Maha Esa tiada duanya. Kitab-kitab Veda menyatakan, “Ekam eva advitiiyam Brahma” ‘Tuhan itu Maha Esa tiada duanya’. Om ityekaksharam Brahma ‘aksara Om adalah Brahman’.

Vimalam achalam menunjuk pada ‘yang murni, stabil, dan mantap. Benda-benda angkasa di alam semesta seperti matahari, bulan, dan planet-planet terus menerus bergerak. Siswa modern mengetahui hal ini. Gulungan film bioskop berputar dengan kecepatan 16 gambar perdetik, tetapi kecepatan gerak pikiran tidak dapat diperkirakan. Pikiran yang selalu bergerak semacam itu tidak dapat memahami Tuhan yang mantap, tidak berubah, tidak bersifat, dan merupakan perwujudan kebahagiaan serta sukacita tertinggi. Itulah sebabnya kaum bijak waskita zaman dahulu biasa berdoa, “Sembah sujud kepada Yang Maha Esa yang merupakan perwujudan kebahagiaan tertinggi.” Kebahagiaan yang berkaitan dengan tubuh serta pikiran sama sekali bukan kebahagiaan. Kebahagiaan batin ( nivritti )-lah yang merupakan kebahagiaan sejati.

Asas ketuhanan sulit sekali dipahami. Untuk menghayati Tuhan, keyakinan sangat penting.

Di mana ada keyakinan, di situ terdapat kasih.
Di mana ada kasih, di situ terdapat kedamaian.
Di mana ada kedamaian, di situ terdapat kebenaran.
Di mana ada kebenaran, di situ terdapat ketuhanan.
Di mana ada ketuhanan, di situ terdapat kebahagiaan.


Jadi hanya Tuhanlah yang dapat menganugerahkan kebahagiaan abadi. Kesenangan duniawi itu bersifat sementara. Dalam kaitan ini Adi Shangkara berkata, “ Maa kuru dana jana yauvana garvam, harathi nimeshaat kaalah sarvam,” Artinya ‘Jangan membanggakan masa muda, harta, dan keturunan. Semua itu bersifat sementara’. Kesenangan duniawi itu bersifat menyesatkan dan berkaitan dengan kelima unsur alam serta panca indra. Ini berhubungan dengan jalan yang mengarah ke dunia luar ( pravritti ).

Tubuh manusia terbentuk dari lima selubung: Annamaya, praanamaya, manomaya, vijnaanamaya, dan aanandamaya kosha. Badan jasmani ini merupakan annamaya kosha ‘selubung ( yang terbentuk dari ) makanan’. Praanamaya kosha ‘selubung prana’lah yang membuat tubuh dapat bergerak. Melampaui praanamaya terdapat manomaya kosha ‘selubung manas’. Manusia hanya mampu menyelidiki ketiga selubung ini. Ia tidak mampu memahami vijnaanamaya kosha ‘selubung kebijaksanaan’ dan aanandamaya kosha ‘selubung kebahagiaan’ karena manusia terbelenggu oleh indranya. Ada dikatakan, “Buddhi graahyam athiindriyam,” artinya, ‘indra tidak dapat memahami kebenaran tertinggi’. Betapapun cerdasnya seseorang, ia tidak dapat memahami kebenaran kesunyataan, jika ia tidak menempuh jalan spiritual. Tubuh manusia ada dalam tiga keadaan yaitu tahap jaga, tahap mimpi, dan tahap tidur lelap. Akan tetapi, apa yang kaulihat dalam satu keadaan tidak dapat dilihat dalam keadaan yang lain karena hal ini berkaitan dengan jalan yang mengarah ke dunia luar atau jalan keduniawian. Agar dapat memahami kebenaran, engkau harus meninggalkan jalan yang mengarah ke dunia luar ( pavritti ) dan menempuh jalan yang mengarah ke dalam batin (nivritti).

Nama Tuhan merupakan Obat Mujarab untuk Menanggulangi Segala Kesulitan

Ketika tubuh ini berusia tujuh tahun, desa Puttaparthi yang kecil ini terserang berbagai wabah penyakit mengerikan yang sangat menular seperti kolera dan pes. Para orang tua yang ketakutan, tidak mengizinkan anak-anak mereka pergi ke luar rumah. Akan tetapi, karena anak-anak itu sangat mengasihi Aku, mereka datang kepada-Ku tanpa memberitahu orang tua mereka. Semua anak itu berusia antara enam sampai delapan tahun. Suatu hari kira-kira 12 anak laki-laki mengerumuni Aku dan berkata dengan cemas, “Raju, kami dengar kolera dan pes telah berjangkit di desa kita. Tampaknya penyakit itu berbahaya dan mematikan. Bagaimana nasib kita nantinya?” Kukatakan kepada mereka, “Cepat atau lambat tubuh ini akan binasa, apa pun juga usaha pencegahan yang mungkin kaulakukan. Karena itu, jangan takut pada ajal. Renungkan Tuhan dan jagalah agar tidak terserang penyakit itu.” Anak-anak itu bertanya kepada-Ku, wujud Tuhan yang mana yang harus mereka renungkan. Mereka semua sangat lugu. Pada masa itu wilayah ini merupakan desa yang kecil sekali dengan penduduk 106 orang. Mereka tidak mempunyai ide, wujud Tuhan yang mana yang harus mereka puja. Kuberitahu mereka agar menyala-kan sebuah pelita, meletakkannya di pasar pada pukul enam sore, dan menyanyikan kidung suci. Mereka tidak tahu kidung suci apa yang harus dinyanyikan. Karena itu, Kugubah beberapa kidung suci bagi mereka. Kukatakan kepada mereka, “Kita tidak perlu mencari Tuhan di luar. Beliau ada di dalam diri kita. Mari kita pergi berkeliling desa menyanyikan nama Rangga ( artinya ‘Tuhan sebagai sutradara agung pagelaran kosmis’ ) dengan mengenakan baju panjang oranye, gelang kaki, dan memainkan simbal ‘gembreng kecil’. Mari kita juga membuang sifat-sifat buruk seperti kemarahan dan hawa nafsu.”

Pada masa itu setelah lewat pukul lima sore tidak seorang pun berani pergi lebih jauh dari Pura Satyabhaamaa karena orang-orang menganggap tempat itu terletak jauh dari desa, dan mereka percaya bahwa kawasan di luar batasan pura ada hantunya. Kutanamkan rasa percaya diri pada anak-anak itu dengan mengatakan bahwa tidak ada hantu atau roh jahat dan Kunasihati mereka agar mengusir penyakit kolera dan pes dengan mengidungkan nama Tuhan. Kami mengenakan gelang kaki dan berjalan menuju tepian Sungai Chitravati sambil memainkan gembreng kecil dan menyanyikan kidung suci. Nama Tuhanlah yang membasmi penyakit kolera dan pes untuk selama-lamanya dalam waktu singkat yaitu tiga hari.

Swami dan Teman-teman Beliau Semasa Kecil

Para orang tua membawa anak-anak mereka kepada-Ku dan menyatakan rasa terimakasihnya karena telah menyelamatkan mereka dari wabah penyakit. Mereka berkata, “Raju, kami berhutang budi kepada Anda karena telah menanamkan keberanian dan rasa percaya diri kepada anak-anak kami. Kami tidak menghendaki mereka pergi ke sekolah; sebagai gantinya, mereka akan pergi menemui Anda. Mohon berikan pendidikan yang perlu untuk kesejahteraan mereka.” Setiap hari pada pukul enam sore setelah makan malam anak-anak itu berkumpul di rumah-Ku untuk mendapatkan pelajaran. Mereka biasa memanggil-Ku sebagai guru les. Orang tua mereka hendak memberikan tiga paisa ( kira-kira sama dengan enam rupiah ) perbulan sebagai guru dakshina ‘pernyataan terima kasih kepada guru’, tetapi Kutolak mentah-mentah. Setiap sore anak-anak itu datang kepada-Ku untuk mempelajari urutan angka-angka dan abjad. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk memberikan pendidikan nilai-nilai kemanusiaan kepada mereka. Aku biasa menasihati mereka agar menjauhkan diri dari teman-teman yang tidak baik. Tidak mengecam dan memfitnah. Pupuklah aneka kebiasaan dan sifat yang baik. Hormati orang tuamu dan patuhi perintah mereka. Sejak saat itu ada kemajuan yang mencolok dalam tingkah laku dan pandangan mereka.

Pada malam bulan purnama kami biasa pergi ke Chitravati pukul enam sore dan baru kembali pada pukul sebelas malam. Beberapa orang yang lebih tua juga menyertai kami. Mereka biasa melewatkan waktu dengan bermain kabaddi, tetapi anak-anak tidak berminat ikut serta dalam permainan mereka. Walaupun Kuminta berulang-ulang, anak-anak tidak mau mengikuti permainan itu. Mereka lebih senang menyanyikan kidung suci dan berada di dekat-Ku. Mereka meminta-Ku agar memimpin kidung suci. Demikian- lah kami biasa melewatkan waktu di pasir-pasir Chitravati dengan menyanyikan kidung suci. Anak-anak sering meminta agar Aku menggubah kidung suci dan lagu baru. Mereka biasa menyanjung kemampuan-Ku menggubah lagu. Aku sering minta agar mereka memberitahukan keinginan-keinginannya kalau ada, tetapi jangan memuji-Ku.


Suatu kali seorang ahli obat-obatan bernama Kotte Subbanna dari Kamalapuram datang ke Puttaparthi. Ia telah banyak mendengar tentang kemampuan-Ku menggubah lagu. Ia datang untuk menanyakan apakah Aku dapat mengarang nyanyian untuk mengiklankan obatnya yang baru. Ia datang menemui Subbaammaa dan menanyakan perihal diri-Ku. Subbaammaa berkata kepadanya, “Saya mengenal Raju dengan baik. Di seluruh desa ini hanya dialah anak laki-laki yang baik. Ia dikagumi orang sedesa. Ia memiliki budi yang luhur; tingkah laku dan sikap-Nya baik. Tidak hanya itu, Ia memberikan banyak pelajaran yang baik kepada orang lain.”

Suatu hari Subaammaa mengundang Kotte Subbanna untuk makan siang. Pada waktu makan, Kotte Subbanna menyatakan keraguannya mengenai kemampuan-Ku menggu-bah lagu. Ia berkata, sulit baginya mempercayai bahwa seorang anak laki-laki kecil seperti Aku dapat menulis syair yang bagus untuk mengiklankan obat barunya di pasar. Karena ia ragu-ragu, Kukatakan kepadanya agar menemui orang lain yang diyakininya dapat menggubah lagu.


Kasih-Ku kepada anak-anak tidak terhingga besarnya. Rangganna, Subbanna, dan Raamanna adalah beberapa di antara anak-anak yang setiap sore biasa Kuajak pergi ke pasir sungai yang kering. Perbendaharaan kata tidak mampu melukiskan keluguan, kemurnian, dan kasih mereka kepada-Ku. Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun biasa meminta agar Aku berbaring sebentar sambil meletakkan kepala-Ku di pangkuannya, alasannya Aku kelihatan sangat lelah dan perlu beristirahat. Melihat ini, anak-anak lain juga ingin mendapat kesempatan memangku kepala-Ku. Kemudian mereka membuat suatu rencana agar semua dapat memperoleh kesempatan yang sama. Diputuskanlah bahwa setiap anak laki-laki akan bergiliran memangku kepala-Ku selama lima puluh hitungan. Mereka tidak melewatkan kesempatan untuk melayani Aku, dan Aku biasa membuat mereka semua merasa puas.

Pada suatu hari Kotte Subbanna datang menemui Aku lagi dan berkata, “Raju, semua anak ini siap mematuhi perintah Anda. Mereka semua pandai bernyanyi dan suaranya enak didengar. Tolong tuliskan beberapa lagu untuk mengiklankan obat baru saya dan mintalah agar anak-anak ini pergi berkeliling desa sambil menyanyikannya. Saya bersedia memberikan imbalan untuk ini.” Kukatakan kepadanya, “Aku tidak suka pada bisnis memberi dan menerima ini. Anak-anak ini juga tidak menyetujuinya. Meskipun demikian, katakan kepada-Ku, apa tepatnya obat Anda itu? Aku akan mengarang lagu yang sesuai.” Ia menjelaskan bahwa nama obat itu adalah bala bhaskara dan dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Aku menggubah sebuah lagu yang indah dalam bahasa Telugu mengenai kemanjuran obat itu. ( Pada kesempatan ini Swami menyanyikan lagu Telugu yang Beliau gubah pada masa kanak-kanak ).

“Anak-anak, kemarilah. Sebuah obat yang baru, Bala Bhaskara, telah tiba di pasar. Obat ini baik sekali untuk berbagai penyakit seperti: sakit perut, gangguan pencernaan, kurang gizi, dan bengkak kaki serta tangan. Obat ini tersedia di toko Kotte Subbanna. Ini adalah tonik yang bagus sekali buatan Pandit Sri Gopalaacharya.”

Kotte Subbanna sangat menyukai sajak itu. Ia menyuruh seseorang menuliskannya pada lembaran-lembaran kertas yang besar untuk iklan. Rupanya Subbanna mujur, Aku dibawa ke Kamalapuram untuk melanjutkan sekolah di kelas lima dan kelas enam Sekolah Dasar. Kotte Subbanna memanfaatkan kehadiran-Ku di Kamalapuram semaksimal mungkin untuk mengiklankan obat-obatnya.

Sejak masa kanak-kanak Aku telah menjadi sumber inspirasi bagi anak-anak kecil. Aku mengimbau mereka agar tidak menyakiti makhluk lain dan agar mereka melaksanakan aneka tugas mereka dengan sungguh-sungguh.

Pada bulan Magha ( bulan kesebelas pada penanggalan Telugu ) Aku biasa mengajak anak-anak pergi ke Pura Aanjaneya pada pukul 4 pagi. Beberapa di antara anak-anak itu masih kecil sekali sehingga sulit bagi mereka untuk bangun sepagi itu. Karena itu, Kubawa mereka ke kolam di dekat situ, Kumandikan, lalu Kuajak pergi ke pura. Aku duduk di dalam pura sementara anak-anak melakukan pradakshina ‘berjalan mengelilingi tempat suci’ ( untuk mendapatkan berkat atau pancaran energi tempat suci itu semaksimal mungkin, keterangan penerjemah ).

Suatu hari mereka mendesak agar Aku ikut berjalan bersama mereka mengelilingi pura. Akhirnya Aku mengikuti desakan mereka dan mulai melakukan pradakshina. Entah kalian percaya atau tidak, Aanjaneya ‘Hanumaan’ datang dan mohon agar Aku tidak berjalan mengelilingi pura ( hadirin bertepuk tangan ). Hanumaan berkata, “Oh Swami, sayalah yang harus berjalan mengelilingi Swami. Swami jangan melakukan hal ini.” Akan tetapi, anak-anak keliru mengira Aanjaneya sebagai kera biasa. Kuberitahu mereka bahwa Aanjaneya telah datang dan tidak mengizinkan Aku mengelilingi pura. Setelah kejadian ini, terjadi perubahan besar dalam hati anak-anak itu. Mereka pergi berkeliling desa dan menceritakan peristiwa yang mereka saksikan di Pura Aanjaneya itu kepada orang banyak. Kabar ini juga terdengar oleh Karnam Subbaammaa.

Hari berikutnya diundangnya Aku ke rumahnya dengan berkata, “Raju, hari ini saya membuat dosha ( semacam dadar dari tepung kacang hitam, makanan khas di India Selatan, keterangan penerjemah ); Anda harus datang dan makan.” Pada masa itu makanan seperti idli dan dosha dianggap sebagai makanan orang kaya. Kukatakan kepada Subbamma bahwa bukan sifat-Ku untuk makan sendirian dan meninggalkan demikian banyak anak lain. Kemudian Subbamma menyiapkan dosha untuk semua anak.


Mengajarkan Nilai-nilai Moral dan Etika kepada Penduduk Desa


Penduduk desa sangat menghormati Aku. Karena Sathya Sai Babalah, maka penduduk Puttaparthi mulai memikirkan Tuhan untuk pertama kali dalam hidupnya. Lambat laun hal ini juga menyebar ke desa-desa lain. Aku biasa mengimbau penduduk desa agar jangan makan makanan yang tidak vegetarian, minum alkohol, dan merokok. Aku selalu menekankan pentingnya makanan yang sattvika.

Pada perayaan Ekadasi ada kebiasaan menyelenggara-kan lomba pedati lembu di pasir Sungai Chitravati. Mereka biasa mencambuki sapi-sapi jantan penarik pedati agar berlari lebih cepat. Kuberitahu anak-anak agar mendesak ayah mereka supaya tidak mencambuki lembu-lembu itu. Tidak hanya sekarang, bahkan pada masa kanak-kanak pun Aku sudah mengajarkan prinsip ahimsa ‘tanpa kekerasan’.

Pada masa itu adu ayam jantan sering sekali dilakukan di pedesaan. Mereka biasa mengikatkan pisau kecil pada kedua kaki ayam jantan itu dan mengadunya agar bertarung dengan ayam jantan lain sampai satu di antaranya mati terkapar. Dalam proses itu, ayam yang lain pun akan terluka parah. Kuberitahu mereka bahwa manusia harus berlomba-lomba melakukan perbuatan yang baik, bukannya berlomba-lomba dalam perbuatan kejam semacam itu.

Suatu hari ayah tubuh ini, Pedda Venkama Raju, memarahi Aku karena ikut campur dalam urusan desa. Ia berkata bahwa para sesepuh lebih tahu dan tidak seharusnya Aku melampaui batas. Kukatakan kepadanya bahwa Aku tidak dapat membiarkan binatang dibunuh atau dianiaya. Karena ia tidak dapat meyakinkan Aku, disuruhnya ibu tubuh ini agar menasihati Aku. Pada waktu menghidangkan makanan, ia berkata kepada-Ku, “Sathya, jangan melakukan hal-hal yang membuat ayah-Mu tidak senang. Kalau Engkau tidak mematuhinya, Engkau akan mendapat nama yang buruk di desa.” Kukatakan kepadanya bahwa Aku hanya melakukan kebaikan dan Aku tidak peduli pada apa yang dikatakan orang lain. Kutekankan bahwa seseorang yang selalu berbuat baik tidak akan pernah mendapat nama buruk. Kondama Raju, kakek tubuh ini, juga mendukung pendapat-Ku. Dipanggilnya penduduk desa dan diberitahunya mereka bahwa apa yang Kulakukan baik untuk desa. Ia juga menasihati mereka agar tidak melakukan kekerasan dan berjudi. Diperingatkannya mereka bahwa kurangnya persatuan akan mengganggu ketenangan desa. Karena wejangan-wejangan semacam inilah, maka ada sejumlah orang yang membenci-Ku.


Masa Sekolah Swami

Untuk pergi ke sekolah, Aku harus berangkat ke Bukkapatnam pukul tujuh pagi. Para guru amat sayang kepada-Ku. Begitu memasuki kelas, setiap guru pertama-tama akan bertanya, “Apakah Raju sudah datang?” Tahukah kalian bagaimana keadaan-Ku pada masa itu? Keluarga kami miskin. Tidak seperti anak-anak dewasa ini, Aku tidak mempunyai berlusin-lusin setelan pakaian. Aku hanya memiliki satu baju dan satu celana pendek. Begitu pulang dari sekolah, Kutanggalkan pakaian-Ku, Kukenakan sarung handuk, lalu Kucuci dan Kujemur baju serta celana pendek-Ku. Dengan cara ini, Aku hanya mengenakan satu stel pakaian untuk setahun.

Di sekolah bila ( para guru ) mengajukan pertanyaan kepada-Ku, Aku selalu dapat menjawab dengan baik. Sebagian besar siswa lain tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Teman-teman sekelas-Ku banyak yang sudah besar, beberapa di antara mereka usianya mendekati 25 tahun dan hampir semuanya mengenakan dhoti ‘sarung untuk pria’. Di kelas, Akulah yang termuda. Suatu hari ketika Aku menjawab sebuah pertanyaan dengan baik, seorang guru yang bernama Mahbub Khan menyuruh-Ku menampar murid-murid lain yang bodoh. Aku harus naik ke atas meja agar dapat mencapai wajah mereka. Mereka tidak Kutampar, melainkan Kusentuh pipinya dengan lembut. Kemudian guru memarahi Aku, “Apakah Engkau kuminta mengoleskan kunyit ke wajah mereka? Akan kutunjukkan kepada-Mu bagaimana caranya menampar!” Sambil berkata demikian, Ia menampar beberapa kali dengan keras. Ketika Aku berjalan pulang ke Puttaparthi, beberapa pelajar melemparkan Aku hingga jatuh di pasir sungai, lalu menyeret-Ku dengan menarik kaki-Ku. Mereka mencabik baju-Ku dan melemparkan Aku ke dalam lumpur. Aku tetap tenang walaupun dianiaya seperti ini. Kedamaian adalah sifat-Ku. Kasih adalah sifat-Ku. Kedamaian adalah wujud-Ku. Kebahagiaan jiwa adalah tekad-Ku.


Setelah tiba di Pura Hanumaan di tepi desa, Kucuci pakaian-Ku dan Kukenakan lagi. Kalian dapat membayang-kan keadaan-Ku pada waktu itu. Baju-Ku koyak di beberapa tempat. Aku tidak mempunyai sebuah peniti pun untuk menyambung kain yang cabik itu. Uang untuk membeli peniti juga tidak Kumiliki. Aku juga tidak ingin memintanya kepada siapa pun. Aku tidak meminta apa pun kepada siapa pun. Keputusan itu Kupegang teguh sejak hari itu sampai sekarang ( hadirin bertepuk tangan ). Aku pergi ke Pura Satyabhaamaa, Kupetik sepucuk duri dari semak-semak, dan Kugunakan sebagai peniti untuk menyambung baju-Ku yang koyak. Jika seseorang tetap berpegang teguh pada tekadnya yang benar, segala hal dapat dicapai.

Suatu kali Subbaammaa berkata kepada-Ku, “Raju, Engkau menjadi lemah. Makanlah dengan baik agar kuat.” Teman-teman-Ku membawakan segala yang disiapkan di rumah mereka untuk-Ku. Namun, Aku selalu berkata kepada mereka, “Di rumahmu daging atau ikan dimasak dan dimakan. Karena itu, tolong jangan membawa apa pun dari rumah seperti itu.” Dengan demikian Kukurangi kebiasaan makan daging di Puttaparthi. Dengan cara ini pula Kucegah kekejaman kepada binatang dalam bentuk adu ayam dan lomba pedati, dan juga kebiasaan berjudi.
Kasih Sayang Subbaammaa yang Bersifat Keibuan kepada Swami

Suatu kali sejumlah orang yang membenci-Ku membakar gubuk ketika Aku sedang tidur di dalamnya. Pada waktu itu ada kira-kira sepuluh anak berusia antara 6 – 9 tahun yang sedang tidur di luar, di serambi. Penjahat itu telah mengunci pintu kamar-Ku dari luar, lalu membakar atap gubuk. Anak-anak berteriak keras-keras, “Raju! Raju!” Aku melongok dari sebuah jendela kecil dan berkata sambil tersenyum, “Jangan takut.” Dharma eva hato hanti, dharmo rakshati rakshita ‘bila engkau menghancurkan darma, engkau akan dihancurkan oleh darma; bila engkau melindungi darma, engkau akan dilindungi oleh darma’. Kita melindungi kebenaran dan kebenaran melindungi kita. Miliki keyakinan yang teguh pada ajaran ini. Anak-anak itu memejamkan mata dan berteriak, “Raju! Raju!” seakan-akan ( nama ) itu merupakan mantra. Karena gubuk itu beratapkan ilalang, api pun berkobar membesar. Tiba-tiba turunlah hujan lebat dan api itu padam sepenuhnya. Hujan hanya tercurah di atas gubuk kecil itu dan tidak di tempat lain. ( Hadirin bertepuk tangan ). Anak-anak itu bukan main senangnya. “Raju, Raju … alangkah hebatnya mukjizat ini!” teriak mereka, “Kami tidak dapat hidup tanpa Anda.” Kupanggil mereka agar masuk dan Kuberi mereka jambu biji serta pisang. Mereka bertanya kepada-Ku, dari mana Aku mendapat buah-buahan ini. Kukatakan kepada mereka, “Mengapa engkau risau? Makanlah apa yang diberikan.” Apakah di rumah besar atau di tempat berteduh di tepi jalan, mengapa dipermasalahkan? Cukuplah bila engkau bisa tidur. Demikian pula, cukuplah bila perutmu kenyang.


Keesokan harinya Subbaammaa mendengar tentang kejadian ini. Subbaammaa adalah seorang yang berjiwa mulia. Ia menganggap Swami sebagai hidupnya sendiri. Ia melakukan penyelidikan yang saksama untuk mencari orang yang bersalah. Mereka tertangkap. Ia memerintahkan agar mereka diusir dari desa. Seluruh bangunan di desa itu adalah milik Subbaammaa. Ia kaya sekali. Semua tanah adalah miliknya. Karena itu, diperintahkannya agar orang-orang itu meninggalkan tanah miliknya. Pada waktu itu Kupegang kedua tangannya. Kukatakan kepadanya, “Tolong jangan menghukum mereka demi Aku. Secara sengaja atau tidak sengaja mereka telah melakukan kesalahan. Maafkan mereka. Janganlah mereka diusir.” Ketika Subbaammaa menceritakan hal ini, semua anak itu datang kepada Swami dan Swami dipanggul di atas bahu mereka. Subbanna, Raamanna, dan teman-teman lain merasa sangat bangga. Mereka memanggul Aku di bahu sambil berkata, “Pasti Anda seorang yang sangat mulia dalam hidup Anda yang lampau. Kalau tidak, Anda tidak akan memiliki keluhuran budi seperti ini. Karena Andalah lambat laun desa ini akan sangat termasyhur.” Subbaammaa berkata, “Jangan keliru menganggap-Nya anak laki-laki kecil. Kemampuan-Nya sedahsyat halilintar. Bagaimana kalian dapat memahami sifat-Nya yang sejati?” Sejak hari itu Subbaammaa tidak mengizinkan Aku pergi dari rumahnya. Aku tinggal di rumahnya dan berangkat ke sekolah dari situ. Ia adalah wanita yang hebat. Pada waktu itu usianya 60 tahun. Ia selalu mencari-Ku dan bertanya, “Apakah Raju ada di situ? Apakah Raju ada di situ?” Ia hanya akan tidur setelah melihat bahwa Aku selamat. Ia selalu berusaha melindungi Aku dari orang-orang jahat yang ada di desa.

Suatu hari datanglah seorang wanita brahmana. Ia minta kepada Subbaammaa agar mengirim Raju ke rumahnya untuk makan penganan kecil. Subbaammaa tidak menyukai tawaran ini. Ia curiga dan menduga bahwa ada maksud jahat di balik undangan ini. Ia menolaknya dan berkata kepada-Ku, “Raju, jangan pergi ke mana-mana tanpa persetujuanku.” Aku berkata, “Subbaammaa! Mengapa Anda ingin menolak permintaannya?” Ia menjawab, “Ada maksud jahat di balik undangannya.” Akan tetapi, Aku bersikeras dan berkata, “Aku harus memenuhi keinginannya.” Aku pergi ke sana. Wanita itu telah menyiapkan sejumlah vada ( makanan khas India Selatan berupa semacam donat asin yang dibuat dari tepung kacang hitam ). Vada itu diberinya racun. Aku memakannya. Dalam waktu lima menit seluruh aliran darah-Ku berubah menjadi biru. Subbaammaa mendengar hal ini lalu berlari-lari datang mencari Aku. Ketika ia menemukan Aku, Kukatakan kepadanya, “Jangan khawatir. Apa yang mereka kehendaki, sudah mereka lakukan. Aku dapat mengurus diri-Ku sendiri.” Kemudian Kuminta Subbaammaa agar memberi-Ku segelas air dengan tangannya. Begitu air itu Kuminum, warna biru di tubuh-Ku lenyap. Subbaammaa luar biasa marahnya. Ia berkata, “Perempuan semacam itu akan merusak nama baik Puttaparthi. Di desa ini tidak ada tempat bagi orang-orang semacam itu. Hanya orang-orang yang luhur budinya dan bersifat baik boleh tinggal di sini.”

Anak-anak pada Masa Itu dan Sekarang

Dipanggilnya para ibu teman-teman Swami dan diberitahunya mereka, “Anak-anak ini bukan milik Anda. Mereka semua anak saya. Mereka harus menyertai Raju sepanjang waktu. Mereka harus melewatkan setiap saat kehidupan mereka bersama Raju.” Hingga sekarang mereka masih hidup. Mungkin kalian mengenal Sathyanaaraayana dari Bukkapatnam; ia adalah salah seorang dari anak-anak itu dan masih ada di sini bersama kita. Ia adalah teman sekelas-Ku di kelas enam Sekolah Dasar Bukkapatnam. Semua anak ini datang kepada Swami. Sulit melukiskan kasih, bakti, dan rasa sayang mereka yang murni kepada Swami. Akan tetapi, kini Kali Yuga telah meracuni pikiran dan perasaan anak-anak.
Pada masa itu bila Swami berbaring akan tidur, anak-anak saling bersaing berusaha agar dapat memangku kepala Swami. Mereka berkata, “Raju, sejak Anda tidur di pangkuan saya, badan saya tidak sakit atau capai lagi dan ada suatu sukacita yang memenuhi diri saya.” Aku bertanya-tanya dalam hati apakah anak zaman sekarang akan memiliki perasaan semacam itu.

Sekarang hati anak-anak penuh dengan perasaan yang tidak baik. Yad bhaavam tad bhavati ‘sebagaimana keadaan pikiran dan perasaannya, maka demikianlah keadaan orang itu’. Anak-anak pada masa itu sangat murni dan lugu. Swami bertekad untuk menyebarluaskan sifat-sifat ini di antara penduduk desa demi kebaikan mereka sendiri. Sekadar menyanyikan kidung suci atau mengucapkan, “Raama Govinda,” dan sebagainya masih belum cukup. Tingkatkan sifat-sifat yang baik. Engkau harus mengembangkan sifat-sifat yang patut diteladani dan memperoleh nama yang baik. Swami senang bila para siswa mendapat nama baik karena keluhuran budi pekerti mereka. Sejak awal kelakuan anak-anak harus baik. Itulah sebabnya Kukatakan, “Mulailah lebih awal, kemudikan perlahan-lahan, dan tibalah dengan selamat. “Bila kaukembangkan kebiasaan yang baik dan suci sejak masa kanak-kanak, engkau akan tumbuh menjadi orang yang patut diteladani. Anak-anak yang dahulu bersama dengan Aku, hingga kini pun masih menjadi teladan yang cemerlang di desa. Bila Swami kembali dari Bangalore, mereka berdiri berjajar di tepi jalan dan ketika melihat Aku, mereka menyampaikan hormat baktinya sambil berkata, “Swami! Swami!” dengan sangat gembira. Mereka yang mengikuti Aku dengan mobil mengetahui bagaimana orang-orang ini membawa berember-ember air dan menyiram serta membersihkan jalan. Mereka berkata, “Swami telah memberikan air kepada kami. Kami harus mempersembah-kannya kembali kepada Swami.” Kalau Aku sekadar bertanya, “Bagaimana kabarmu?”, mereka menjadi sangat bahagia.


Untuk menimbulkan perubahan inilah, maka Aku tidak mengumpulkan uang, satu sen pun tidak. Aku bahkan tidak mempunyai harta yang bernilai satu sen pun. Seluruh kekayaan-Ku adalah para siswa-Ku ( hadirin bertepuk tangan ). Aku tidak meminta apa-apa. Aku hanya memberi dan memberi. Pemberian Swami tidak ada batasnya. Para bakta harus diberi sesuatu agar senang. Satu-satunya yang dipikirkan Swami adalah kesejahteraan bakta Beliau. Tidak seorang pun perlu mencemaskan kesejahteraan-Ku. Kesejahteraan-Ku ada di tangan-Ku. Karena itu, bila engkau menempuh hidupmu tanpa menyimpang dari kebenaran dan kebajikan, hidupmu akan berguna dan bermakna.

Masih banyak hal-hal penting yang tidak diketahui yang harus Kusampaikan kepada para siswa. Besok akan Kuberitahukan lebih banyak hal kepada kalian.


Wacana Bhagawan pada hari keempat perayaan Dasara, 17-10-1999, di Pendapa Sai Kulwant, Prashanti Nilayam.

Diterjemahkan : Dra. Retno Buntoro