DASARA 1999 HARI KE - 5

Wacana Bhagawan pada hari kelima perayaan Dasara, 18-10-1999


KENANGAN MEMIKAT MENGENAI
MASA KANAK-KANAK SWAMI

Bila engkau membuang egomu, engkau akan disayang semua orang. Kesedihan tidak akan menyentuhmu bila engkau melenyapkan kemarahan. Tiadanya keinginan membawa ketenteraman. Engkau akan senang dan bahagia bila keserakahan kautinggalkan.

( Puisi bahasa Sanskerta ).


Perwujudan kasih!

Di dunia ini ego merupakan sifat iblis. Orang yang egoistis bahkan tidak dicintai oleh istri dan anak-anaknya. Selama orang memiliki rasa marah, ia tidak terlepas dari kesengsaraan. Orang yang banyak keinginannya tidak akan pernah merasa tenteram. Demikian pula orang yang tamak tidak dapat berbahagia.


Semua adalah Teman-Ku

Pengendalian pikiran penting bagi semuanya dari manusia biasa hingga makhluk surgawi. Tanpa disiplin semacam itu, manusia bahkan tidak dapat menyelesaikan tugas yang remeh betapapun kuat dan kuasanya ia. Walaupun Tuhan mahakuasa dan ada di mana-mana, bila mengambil wujud manusia, Beliau pun mengikuti peraturan dan ketetapan tertentu karena Beliau bertingkah laku secara terkendali dan dengan demikian berusaha meningkatkan ( taraf kesadaran ) manusia. Para Avatar seperti Raama dan Krishna pun banyak membatasi diri ketika melakukan tugas-tugas mereka.

Raama mengucapkan tiga ikrar. Ikrar pertama yaitu hanya mempunyai satu istri. Ikrar kedua yaitu mengenai sasaran dengan satu panah. Ikrar ketiga yaitu tidak mengingkari janji yang telah diucapkan. Raama tidak pernah melanggar ikrar ini.

Sri Krishna pun mempunyai tiga ikrar sebagai berikut.

(1) Dharma samsthaapanaarthaaya sambhavaami yuge-yuge. ( Bhagawad Gita, 4 : 8 ). ‘Aku akan menjelma berulang-ulang untuk menegakkan lagi kebenaran’.

(2) Yoga kshemam vahaamyaham. ( Bhagawad Gita, 9 : 22 ). ‘Aku akan mengurus kesejahteraan bakta-Ku’.

(3) Mokshayishyaami ma shuchah. ( Bhagawad Gita, 18 : 66 ) ‘Aku akan menganugerahkan moksa bila engkau pasrah kepada-Ku’.

Aku pun telah mengucapkan beberapa ikrar. Salah satu ikrar Sai yaitu: Aku tidak akan pernah mengingkari janji. Sekali Aku berjanji kepada seseorang, Aku tidak akan pernah meninggalkannya atau menjauhkannya dari-Ku walaupun mungkin ia melakukan kegiatan untuk menentang Aku atau tidak mematuhi perintah-Ku. Inilah sifat kasih-Ku. Ada banyak orang yang menerima janji Swami dan menikmati kedamaian serta kebahagiaan. Beberapa di antara mereka adalah pengkhianat dan berusaha menjahati Swami. Akan tetapi, Swami tidak pernah merugikan atau membenci mereka. Sampai hari ini Aku belum pernah membenci siapa pun juga. Aku tidak tahu apakah kebencian itu. Sesungguhnya kebencian adalah penyimpangan pikiran. Aku berharap agar tidak seorang pun mengalami sesuatu yang membahayakan. Jadi, mengapa orang lain harus merasa benci kepada Swami? Itu akibat samskaara ‘kecenderungan bawaan’ dari kelahiran-kelahiran mereka yang lampau.

Bagaimanapun juga tidak seorang pun dapat menghindari akibat-akibat perbuatannya. Setiap orang harus menuai akibat-akibat perbuatannya yang jahat. Hanya mereka yang mempunyai perasaan kasih dalam dirinya dapat memahami keindahan dan kekuatan kasih. Swami tidak mempunyai musuh di dunia ini. Semua adalah sahabat-Ku. Aku adalah sahabat bahkan bagi mereka yang mengingkari persahabatan-Ku. ( Hadirin bertepuk tangan ).


Kekuatan Bakti dan Kepasrahan

Veda menyatakan, “Brahmavid Brahmaiva bhavati,” ‘yang mengetahui Brahman menjadi Brahman’. Engkau akan menjadi apa yang kaupikirkan atau kaurenungkan. Darwin adalah seorang cendekiawan yang hebat. Ia terkenal karena sifat-sifatnya yang baik dan pandangannya yang luas. Henslow adalah guru dan sahabat kesayangannya. Dengan taat Darwin mengikuti ajaran Henslow dan menyerap kebiasaan serta sifat-sifat pribadinya. Akibatnya ia mulai tampak seperti Henslow. Suatu kali sejumlah teman mereka melihat guru dan murid bersama-sama di sebuah ruangan. Mereka tidak dapat membedakan yang mana Darwin dan yang mana Henslow. Engkau membaca dalam Bhaagavata bahwa Prahlaada adalah putra raksasa. Akan tetapi, karena ia terus menerus merenungkan nama Hari ( Vishnu ), wajahnya mencerminkan kecemerlangan Hari. Ratnakara adalah perampok yang kejam. Karena mendapat inspirasi dari ajaran ketujuh resi, ia mulai mengucapkan nama Raama. Akibatnya, wajahnya mencerminkan kecemerlangan Sri Raama. Kalian memuja Raama sebagai pencipta, pemelihara, dan penyelamat dunia. Bersamaan dengan itu kalian menyadari tingginya tingkat spiritual yang dicapai oleh Ratnakara—yang kemudian dikenal sebagai Resi Vaalmiki—penyair terkemuka dan penulis epik agung Raamaayana. Sesungguhnya kekuatan bakti dan kepasrahan itu demikian besar sehingga sulit di-lukiskan. Tidak seorang pun dapat memperkirakan keindahan kasih. Karena itu, jangan pernah membenci siapa pun.

Darwin

Henslow



Kemarahan, kebencian, dan iri hati adalah sifat iblis. Sifat-sifat buruk ini harus dilenyapkan dan nilai-nilai kemanusiaan ditingkatkan. Satya dan darma merupakan nilai-nilai kemanusiaan utama. Itulah sebabnya Veda menyatakan, “Satyannasti paro dharma,” ‘tiada darma yang lebih mulia daripada kebenaran’ dan, “Satyam vada dharmam cara,” ‘ucapkan kebenaran dan laksanakan kebajikan’. Kalian harus mengikuti perintah Veda ini. Akan tetapi, kini manusia mengabaikan satya serta darma, mengikuti jalan yang tidak benar serta jahat, dan karena itu menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya. Yang pertama dan terpenting, kalian harus mengamalkan satya dan darma. Tidak mungkinlah menguraikan kekuatan satya dan darma. Segenap ciptaan berasal dari kebenaran dan akhirnya akan manunggal ke dalam kebenaran. Karena itu Veda mengimbau agar manusia menyerap sifat satya ini. Kebenaran adalah sifat yang sattvika. Sifat ini harus memperoleh tempat di dalam hatimu. Sebaliknya, manusia modern mengisi hatinya dengan berbagai sifat yang buruk. Dapatkah orang semacam itu disebut manusia dalam pengertian yang sebenarnya? Dalam kaitan ini akan Kuceritakan kepada kalian beberapa peristiwa yang terjadi pada masa kanak-kanak-Ku.


Masa Kanak-kanak Swami

Ketika Aku masih bocah, banyak anak berusia 5 – 7 tahun biasa datang kepada-Ku untuk bermain dan menyanyikan kidung suci. Kugunakan kesempatan itu untuk mengajarkan norma-norma tingkah laku yang benar. Kukatakan kepada mereka, “Ibumu melahirkan engkau dengan menanggung segala kesulitan dan sakit. Ia memelihara engkau di rahimnya selama sembilan bulan lamanya. Ayahmu membesarkan engkau dengan menghadapi berbagai kesulitan. Karena itu, sayangi orang tuamu. Itulah kewajibanmu yang utama. Jujurlah selalu dalam segala keadaan. Jangan berusaha menutupi kesalahanmu karena takut ditegur orang tuamu. Jangan berbohong. Biarlah orang tuamu memarahi atau bahkan memukulmu. Itu tidak mengapa. Engkau harus mengatakan hal yang sebenarnya.” Kekuatan kebenaran melampaui kekuatan bom atom atau bom hidrogen. Tidak ada senjata yang lebih ampuh daripada kebenaran. Akan tetapi, kalian harus tahu bagaimana cara mengucapkan kebenaran. Anudvegakaram vakyam satyam priya hitham cha yat ‘ucapkan kebenaran sedemikian rupa sehingga menyenangkan dan tidak menjengkelkan orang lain’. Jangan mengucapkan perkataan yang kasar.

Ketika anak-anak tumbuh sedikit lebih besar dan mulai memasuki usia tujuh atau delapan tahun, mereka mulai bertanya kepada Swami mengenai tingkah laku yang benar. Kuberitahu mereka agar membuang rasa marah, benci, iri hati, dan sikap suka pamer. Wajarlah bila anak-anak menyukai makanan dan bila menemukan lauk yang disukai, beberapa anak berusaha mencurinya. Aku biasa memberitahu mereka, “Jangan mencoba mencuri apa saja. Kalau engkau benar-benar membutuhkan makanan, buku, atau pen, engkau harus memintanya kepada teman sekelasmu, baru kemudian menerimanya. Akan tetapi, jangan pernah mengambil apa pun tanpa sepengetahuan mereka.”

Pada waktu itu banyak orang Muslim di desa ini. Mereka biasa merayakan Moharram. Sejumlah orang Hindu pun biasa ikut serta bersama mereka. Aku biasa mengatakan kepada anak-anak, “Moralitas lebih penting daripada cara ibadah atau agama. Moralitas merupakan daya hidup kita. Karena itu, lupakan perbedaan agama dan berkawanlah dengan semua. Kalian pun harus ikut serta dalam perayaan ini.” Seorang anak laki-laki berkata, “Raju, saya termasuk dalam komunitas brahmana. Orang tua saya tidak akan mengizinkan saya ikut serta dalam perayaan Moharram. Kukatakan kepadanya, “Engkau manusia. Engkau termasuk dalam bangsa manusia. Kastamu adalah kasta umat manusia. Agamamu adalah agama umat manusia. Ingatlah hal ini selalu.”

Ketika para orang tua mengetahui bahwa Aku memberitahu anak-anak mereka agar meninggalkan per-bedaan kasta dan agama, mereka mulai bertengkar dengan-Ku, “Raju, mengapa Anda merusak anak-anak kami dengan memberitahu mereka bahwa tidak boleh ada perbedaan berdasarkan kasta atau agama? Dapatkah ini dibenarkan?” demikian mereka bertanya. “Di dunia ini tidak ada agama yang lebih mulia daripada agama kasih,” demikian Kukatakan dengan tegas kepada mereka. Aku tidak takut pada apa pun. Mengapa kebenaran harus takut kepada sesuatu? Dengan mengikuti kebenaran manusia dapat mencapai apa saja.

Suatu hari anak-anak itu berdiskusi, “Raju memberitahu kita banyak hal yang baik. Apakah kita melaksanakan sekurang-kurangnya satu di antaranya?” demikian mereka bertanya satu sama lain. Seorang anak laki-laki berkata, “Aku berusaha sedapat mungkin untuk berbicara dengan benar dalam segala keadaan.” Anak laki-laki lain berkata, “Tuhan adalah kekasihku. Beliau adalah ibuku, Beliau adalah ayahku, dan Beliau adalah hidupku.” Anak itu bernama Kesanna, putra Buggapalli Acchamma. Ibunya biasa mencari nafkah dengan berjualan biidi ‘semacam rokok kretek’ dan sigaret di sebuah kios kecil. Anak laki-laki lain berkata, “Tidak mungkinlah melaksanakan semua ajaran Raju, tetapi aku merasa bahagia mendengarkan perkataan Beliau.” Anak laki-laki lain berkomentar, “Perkataan Raju sangat menyenangkan. Bagaimana kami bisa tidak mendengarkan Beliau? Raju sangat kusayang.” Anak lain bertanya kepadanya, “Hanya engkaukah yang menyayangi Raju? Tidakkah kami juga menyayangi Beliau?” Dengan cara ini anak-anak memperlihatkan bahwa mereka mengasihi Aku dan menyukai ajaran-Ku.


Subbaammaa Menyadari Keavataran Swami

Suatu hari kami semua berkunjung ke rumah Karnam Subbaammaa. Ia adalah wanita yang saleh dan berpandangan luas. “Raju, Anda membawa anak-anak ini, tetapi saya belum memasak apa-apa untuk kalian. Kalian semua, datanglah lagi besok. Saya akan menyiapkan sesuatu untuk dimakan,” demikian katanya. Hari itu ia menyiapkan sambhar ( semacam sop kacang khas India Selatan ) dan nasi karena dikiranya Aku menyukainya. Kuberitahu anak-anak agar tahu batas karena Subbaammaa termasuk dalam komunitas brahmana dan tidak mudah baginya mengabaikan perbedaan kasta atau agama. Ia membawa nasi serta sambhar dalam sebuah panci dan memberikannya langsung ke tangan anak-anak. Mereka semua makan dengan gembira. Subbaammaa tahu bahwa Aku tidak senang bila diberi makan lebih dahulu dan Aku hanya akan puas bila anak-anak lain diberi makan lebih dahulu. Karena itu, ia memberikan makanan kepada mereka terlebih dahulu. Akhirnya hanya sedikit sekali nasi yang tersisa. Ia merasa tidak enak karena tidak dapat memberi makan Aku dengan sepatutnya dan disuapkannya nasi itu ke mulut-Ku. Melihat ini, anak-anak mulai berbisik-bisik, “Ia memberikan makanan untuk kami di tangan, tetapi untuk Raju disuapkan. Mengapa begitu?” Kukatakan, “Subbaammaa, perbuatan Anda membuat anak-anak ini jengkel.” Ia berpaling kepada anak-anak dan berkata, “Saya menyayangi kalian semua sama rata, tetapi Raju hanya merasa puas bila kalian semua diberi makan lebih dahulu. Karena itu, saya berikan makanan lebih dahulu kepada kalian. Akhirnya hanya sedikit nasi yang tersisa. Untuk sesuap pun tidak cukup. Karena itu, tidak saya berikan di tangan Beliau, tetapi saya suapkan ke mulut Beliau. Raju hanya merasa puas bila semua yang lain merasa puas. Itulah sifat Beliau. Sedikit pun tidak ada sifat mementingkan diri pada Beliau. Kalian semua harus meneladan Raju. Buanglah sifat mementingkan diri, sifat mencari keuntungan bagi diri sendiri, dan tingkatkan kasih. Kalian harus yakin bahwa kebahagiaan kalian terletak pada kebahagiaan sesama manusia. Hanya dengan demikianlah kalian akan sejahtera dan menjadi teladan bagi orang lain.” Kemudian ia berkata kepada-Ku, “Raju, malam ini saya akan memasak nasi asam, karena itu, pergilah ke halaman dan ambilkan saya daun kari.”

Dengan alasan itu disuruhnya Aku pergi ke luar. Pada waktu itu usia-Ku delapan tahun. Walaupun Aku lebih tua daripada anak-anak lain, Akulah yang paling pendek, tetapi Aku dapat memanjat pohon dengan tangkas. Kupanjat sebatang pohon dan Kupetik sebuah cabang daun kari seperti yang diminta oleh Subbaammaa. Tahukah kalian mengapa disuruhnya Aku keluar? Ia hendak berbicara mengenai Aku kepada anak-anak.

Ketika Aku sudah meninggalkan tempat itu, ia berkata kepada mereka, “Anak-anak, tahukah kalian betapa mujurnya kalian ini karena bisa bersahabat dengan Raju! Beliau bukan anak laki-laki biasa. Suatu hari kelak Beliau akan menjadi raja segala raja dan penguasa segala penguasa. ( Hadirin bertepuk tangan ). Kalian ikuti saja perintah Beliau mengenai apa saja, jangan tidak dipatuhi. Bila kalian tidak menaati Beliau, semua dewa akan marah kepada kalian. Dapatkan kegembiraan dengan membuat Beliau senang. Raju tidak akan mengungkapkan rasa tidak senang-Nya. Akan tetapi, bila kalian melakukan sesuatu yang tidak benar, kalian harus menanggung akibatnya. Karena itu, bertingkahlakulah sedemikian rupa sehingga Beliau tidak pernah merasa tidak puas.”

Suami Subbaammaa mempunyai istri kedua bernama Kamalaammaa. Ia berkata kepada Subbaammaa, “Kak, bagaimana anak-anak ini dapat memahami filsafat yang Kakak ajarkan kepada mereka?” Subbaammaa menjawab, “Ini sama sekali bukan filsafat. Saya hanya memberitahu anak-anak bagaimana caranya membawa diri dalam kehidupan sehari-hari. Saya tidak mempunyai anak, karena itu saya anggap mereka sebagai anak-anak saya sendiri. Mereka teman-teman Raju yang merupakan hidup saya.”

Suatu hari Subbaammaa menyiapkan vada ( semacam donat asin yang terbuat dari tepung kacang hitam ) di rumahnya. Karena vada itu tidak cukup untuk dibagikan kepada semua anak, ia hanya akan memberikannya kepada-Ku. Ia pergi ke teras rumahnya lalu memanggil-Ku melalui sebuah jendela karena rumah-Ku bersebelahan dengan rumahnya. “Raju, Raju, datanglah cepat.” Aku berlari menemuinya. Ia mengulurkan sebuah bungkusan kecil melalui jendela. Aku berkata, “Subbaammaa, tidak adil jika Anda hanya memberikan sesuatu kepada-Ku. Kalau Anda akan memberi, berikan kepada semua anak.” “Kali ini maafkan saya Raju. Mulai besok saya akan membagikannya kepada semua sama rata,” demikian katanya. Swami menyimpan bungkusan vada itu sampai sore kemudian membagikannya sedikit-sedikit sama rata kepada semua anak.

Tahukah kalian mengapa Swami menceritakan semua ini? Ini adalah kisah selayang pandang mengenai kasih-Ku. Tidak seorang pun dapat memahami sifat kasih-Ku, ketenang-an, keseimbangan batin, dan ketuhanan-Ku. ( Hadirin bertepuk tangan ). Kasih-Ku tidak terbatas, tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, dan tidak dapat dijelaskan. Ada sejumlah orang yang salah paham pada kasih Swami dan menghancurkan hidup mereka sendiri. Swami menghendaki agar semua berbahagia. Lookaah samastaah sukhino bhavan-tu ‘semoga penghuni segala loka berbahagia’. Jangan sampai ada satu makhluk pun yang menderita. Itulah harapan-Ku.


Masa Sekolah Swami

Kalian semua mengenal Gunda Sathyanaaraayana dari Bukkapatnam yang sering datang ke sini. Sekarang ia ada di sini. Dahulu ia teman sekelas-Ku. Lihatlah ia ( Swami memberi isyarat kepada Sathyanaaraayana agar maju ke mimbar. Ia terkejut karena undangan yang mendadak ini lalu maju tertatih-tatih menuju mimbar dan bersujud di hadapan Swami. Hadirin sangat gembira dan bertepuk tangan keras-keras ketika Swami dengan penuh kasih memperkenalkan teman masa kanak-kanak Beliau dan memintanya berbicara. Sri Sathyanaaraayana menuturkan bagaimana sejak masa kanak-kanak Swami selalu melimpahkan kasih sayang Beliau kepadanya. Setelah itu, Swami melanjutkan wacana Beliau ).

Aku biasa pergi ke sekolah di Bukkapatnam bersama beberapa anak laki-laki lain. Kami belajar di kelas lima S.D. Keluarga-Ku miskin sekali. Anak-anak lain dari desa ini juga miskin. Ibu Iishvarammaa biasa menyiapkan bola-bola ragi ( elucine coracana, semacam padi-padian yang bijinya berbentuk butir-butir kecil berwarna merah kecoklatan seperti biji mustard, makanan orang miskin di India Selatan ). Dalam bola ragi itu dibuatnya sebuah lubang kecil dan diisinya dengan sambal kacang. Pada masa itu tidak ada rantang atau kotak plastik, maka bekal tersebut dibungkus kain. Aku memanggulnya di punggung ( sambil berjalan ) menuju Bukkapatnam.

Begitu bel untuk istirahat makan siang berbunyi pada pukul 12 siang, kami segera berlari ke waduk yang terdekat. Tidak mungkinlah membuka makanan itu dengan cepat karena lengket pada kain. Kami harus merendam bungkusan itu dalam air untuk sementara waktu sebelum membukanya. Begitu kami mulai makan, bel sekolah berdentang lagi menandakan bahwa waktu untuk makan siang telah selesai. Salah satu di antara anak-anak itu adalah putra orang kaya. Ia siswa yang cerdas. Ia biasa membawa bekal nasi dan sambhar lalu membagikannya di antara anak-anak. Aku pun membagikan bola ragi bekal-Ku. Demikianlah kami menikmati kerukunan baik pada waktu makan maupun bermain. Ada kebahagiaan yang tak terhingga dalam persatuan. Namun kini tidak ada persatuan dan kasih pada orang-orang yang terpelajar, sebaliknya, iri hati dan kebencian meningkat. Orang-orang bertengkar bahkan untuk masalah yang sepele. Aku biasa menasihati anak-anak agar tidak berselisih dalam keadaan apa pun.

Pada waktu bersekolah di Bukkapatnam, Aku banyak mengarang puisi. Aku juga mengarang sebuah puisi mengenai kota Bukkapatnam ( Swami menyanyikan puisi indah yang Beliau karang pada masa kanak-kanak ).

Sungai Chitravati sungguh menawan hati. Mengalir melingkari kawasan ini. Dan di sana perbukitan menjulang. Melindungi wilayah ini bagaikan benteng. Kota Bukkapatnam terletak di sana. Bagaikan permata indah penghias kemuliaan Bukkaraya. Di tengahnya tinggallah Bunda Dewi Chitravati. Dan di dekatnya terletaklah kota-Ku Puttapuram.

( Nyanyian bahasa Telugu ).

Bila Swami mencipta lagu dan mengajarkannya kepada anak-anak, mereka merasa sangat bahagia. Mereka mengagumi bakat mengarang-Ku dan bertanya, “Raju, bagaimana Anda bisa mempunyai bakat mengarang puisi seperti ini?”

Di sekolah di Bukkapatnam setiap pagi diselenggarakan doa bersama. Kepala sekolah meminta Swami agar mencipta lagu dan nyanyian untuk doa pagi. ( Swami menyanyikan doa yang biasa Beliau kidungkan pada waktu itu ).

Bahkan sejak masa kanak-kanak Aku sudah mengajarkan persatuan semua agama. Penduduk desa Puttaparthi biasa menyebut-Ku seorang Vedanti ‘orang yang memiliki pengetahuan Veda’.
Kemudian ketika Aku bersekolah di Uravakonda, di kelas Aku harus duduk sebangku dengan dua pelajar lain. Aku biasa duduk di tengah diapit Ramesh dan Suresh di sebelah menyebelah-Ku. Mereka adalah pelajar yang sangat bodoh. Bahkan mendapatkan satu dari seratus angka pun hampir tidak mungkin bagi mereka. Aku biasa membantu mereka dalam pelajaran. Pada masa itu ada ujian negara yang disebut E.S.L.C. Kami harus menempuh ujian ini. Ketika Suresh dan Ramesh mengetahui hal ini, mereka amat ketakutan. Sepanjang waktu mereka mohon kepada Swami, “Raju, Andalah penyelamat kami.” “Jangan takut. Hadapi ujian dengan berani,” demikian Kukatakan kepada mereka. Bahkan pada masa itu pun Aku biasa menanamkan keberanian dalam diri anak-anak.

Di ruang ujian, para pengawas membagikan kertas kosong. Peserta ujian tidak diperkenankan membawa kertas apa pun. Para guru memeriksa anak-anak dengan saksama karena mereka curiga bahwa beberapa siswa mungkin mengantongi kertas contekan atau menuliskan sesuatu di telapak tangannya. Sementara itu, seorang guru datang dan berkata kepada guru lain, “Kondappa, Anda kira siapa siswa-siswa ini? Mereka termasuk dalam kelompok Raju. Mereka tidak akan menyontek dalam ujian.” Guru yang lain berkata, “Aku tahu. Itu kelihatan dari kecemerlangan wajah-Nya.”

Kami semua pergi ke ruang ujian. Itu ujian kami yang pertama. Karena nomor kami tidak berurutan, tempat duduk kami lain dan saling berjauhan. Ramesh dan Suresh putus asa. Pada waktu itu Kukatakan kepada mereka, “Aku juga akan menuliskan kertas jawabanmu. Jangan panik! Lakukan apa yang Kukatakan. Aku akan memainkan drama. Kalau Aku adalah sutradara drama alam semesta ini, tidak dapatkah Aku meluluskan kalian?” ( Hadirin bertepuk tangan ).

Pertama Kutuliskan jawaban ( di kertas-Ku ) dengan sangat cepat lalu Kulipat setelah nama dan nomor-Ku Kutuliskan. Kutaruh kertas itu di samping. Kemudian Kutuliskan jawaban soal ujian dengan gaya tulisan Ramesh dan Kutuliskan nama serta nomornya. Dengan cara itu pula Kujawab semua soal dalam gaya tulisan Suresh. Ketiga kumpulan kertas jawaban ini Kusimpan. Sementara itu bel berbunyi. Para pengawas bergegas mengumpulkan kertas jawaban. Ramesh dan Suresh mencari Aku. Kuberitahu mereka agar keluar meninggalkan ruang ujian. Mereka keluar tanpa menyerahkan kertas ujiannya, sedangkan Aku meletakkan ketiga bendel kertas itu di meja pengawas. Hasilnya diumumkan seminggu kemudian. Hanya kami bertiga yang mendapat rangking pertama dan memperoleh nilai tertinggi. “Luar biasa bagus,” komentar kepala sekolah kami. Ramesh dan Suresh menyatakan terima kasihnya dengan berkata, “Raju, kami mendapat rangking pertama hanya karena Anda.”

Diungkapkannya Keavataran Swami

Ada seorang lelaki berusia 70 tahun yang biasa secara teratur mengunjungi Pura Satyabhaamaa, namanya Subbarayudu. Ia biasa membasuh kakinya lalu duduk di tempat yang agak tinggi. Suatu hari Aku lewat di tempat itu. “Raju, Raju, kemarilah,” panggilnya. Ketika Aku datang ke dekatnya dan menanyakan apa yang dikehendakinya, ia berkata, “Saya seorang pria yang kekar. Anda bisa duduk di pangkuan saya dan beristirahat sebentar. Pangkuan saya cukup luas.” “Manfaat apa yang Anda peroleh kalau Saya duduk di pangkuan Anda?” tanya-Ku. “Saya tidak dapat menjelaskannya. Manfaatnya tidak terhingga dan indah sekali. Raju, Andalah cahaya yang menerangi desa Puttaparthi ini. Kelak kemuliaan Anda akan mencapai segala penjuru dunia.”

Perkataan yang hari itu diucapkannya kini telah menjadi kenyataan. Nama dan kemasyhuran Raju serta kemuliaan desa Puttaparthi ini telah tersebar ke mana-mana, tidak hanya di negeri ini, tetapi juga di seluruh dunia. ( Hadirin bertepuk tangan ). Pada masa itu bahkan orang-orang yang biasa bepergian jauh pun sulit sekali mencapai tempat ini. Desa sekecil itu telah menjadi tempat yang sangat penting di peta dunia. Subbarayudu dapat meramalkan bahwa desa ini akan mempunyai masa depan yang cemerlang. Ia tidak punya anak. Dirangkulnya Aku dengan penuh kasih sayang sambil berkata, “Raju, alangkah mujurnya saya mendapat kesempatan memeluk Anda.” Ia merasa sangat bahagia. “Tetapi ayah Anda dan saya saling tidak berbicara. Karena itu, mungkin ayah Anda akan merasa tidak senang kalau ia tahu bahwa saya telah bercakap-cakap dengan Anda. Jangan Anda ceritakan kepadanya,” pintanya kepada-Ku. “Itu tidak ada salahnya. Saya akan mengatakan yang sebenarnya. Ayah Saya orang yang baik,” demikian Kukatakan.

Ketika Aku tiba di rumah, ayah tubuh ini bertanya kepada-Ku, “Mengapa Engkau berbicara dengan Subbara-yudu? Dia musuhku.” “Mungkin dia musuh bagi Ayah, tetapi tidak bagi Saya. Itulah sebabnya Saya berbicara dengannya.” Kutangkupkan kedua tangan-Ku dengan hormat sambil berkata, “Sesepuh seperti Ayah seharusnya tidak pernah membenci siapa pun. Buanglah kebencian, bekerja samalah dengan orang-orang lain, dan berdarmabaktilah untuk kemajuan desa ini.” Ia tidak yakin dan bertanya lagi kepada-Ku, “Apa yang dikatakannya kepada-Mu?” “Ia berkata bahwa desa ini akan menerangi seluruh dunia karena kehadiran dan kemuliaan Saya,” jawab-Ku. “Apa kemuliaan-Mu yang dilukiskan begitu hebat oleh Subbarayudu?” Komentarnya dengan mengejek. Aku pergi meninggalkan tempat itu lalu kembali sambil membawa bunga dengan kedua tangan-Ku dan bertanya kepadanya, “Tahukah Anda siapa Saya?”

Aku Sai, ketahuilah kebenaran ini. Buanglah kelekatan dan usaha yang sia-sia. Ikatan duniawi antara engkau dan Aku diputuskan. Tidak seorang pun dapat menghalangi Aku. Walaupun mungkin ia sangat perkasa.

( Nyanyian bahasa Telugu ).


Sambil mengatakan hal itu, bunga yang Kubawa Kutebarkan di lantai. Bunga-bunga itu jatuh membentuk aksara Telugu “Sri Sathya Sai Baba”.

Sejak saat itu ayah tubuh ini berhati-hati bila berurusan dengan Aku. Dengan cara ini Aku biasa memberikan wacana tidak hanya kepada anak-anak, tetapi juga kepada orang-orang yang lebih tua. Aku juga memberikan pelajaran kepada wanita dan kaum muda. Kuberitahu kaum muda agar mengutamakan watak yang baik, agar jangan mempunyai perasaan jahat yang dapat diibaratkan dengan racun. Bahkan kepada anak-anak kecil pun Kuajarkan kebenaran yang mulia.

Ada seseorang yang bernama Sathyanaaraayana. Ia seorang yang luhur budinya. Ia mempunyai sebuah toko kecil di Bukkapatnam. Suatu hari dilihatnya baju-Ku yang koyak. Pada masa itu harga sepasang baju dan celana pendek hanya sembilan paisa ( satu rupi = 100 paisa ). Dibawanya kain untuk baju dan celana lalu berkata, “Raju, tolong jangan salah paham. Saya bawa dua potong kain ini dengan penuh kasih. Anda jahitkan untuk pakaian Anda.” “Kalau Anda hendak memelihara persahabatan yang langgeng dengan Saya, jangan menghadiahkan kain itu kepada Saya. Saya tidak akan menyentuhnya,” demikian Kukatakan.

Sampai hari ini Aku tidak pernah menginginkan apa pun. Aku bahkan belum pernah menyentuh uang orang lain satu sen pun. Bila dibutuhkan, benda-benda datang sendiri kepada-Ku tanpa Kuminta. Aku belum pernah mengulurkan tangan di hadapan siapa pun sejak masa kanak-kanak sampai sekarang dan ini juga akan menjadi norma-Ku pada masa yang akan datang. Aku merasa bahagia dalam memberi, bukan dalam menerima. Karena iri hati, sejumlah orang mungkin mengecam Aku bila keinginannya tidak terpenuhi sesuai dengan harapannya. Jika mereka mengecam keras-keras, tuduhan mereka tercerai berai di udara. Jika mereka mengecam di dalam hati, merekalah yang akan menerima kecaman itu, bukan Swami; itu tidak akan pernah mencapai-Aku. Aku tidak membenci, mengecam, atau menertawakan siapa pun. Aku berbicara dengan penuh kasih bahkan kepada mereka yang mencemooh-Ku pada masa kanak-kanak.


Swami Menepati Janji Beliau kepada Subbaammaa

Suatu hari Subbaammaa menemui Aku dan berkata dengan riang, “Raju, Anda memberikan berbagai nasihat yang baik dan berguna kepada orang banyak. Suami saya menempuh jalan yang tidak benar. Mengapa Anda tidak meluruskannya?”

“Saya akan melakukannya kalau Anda tidak keberatan,” Kukatakan kepadanya. Setiap sore Karanam ( suami Subbamma ) biasa duduk di dekat tanaman tulsi di depan rumahnya. Kugubah sebuah nyanyian dengan lagu yang menyenangkan. Kuajarkan nyanyian itu kepada sejumlah anak dan Kuminta mereka agar lewat di depan Karanam sambil bernyanyi,

“Jangan mengejar perempuan jalang, engkau akan menjadi lelaki bejat; itu sudah pasti.
Masyarakat akan mengucilkan engkau;
sanak keluarga akan mengusirmu. Teman-teman akan menampar wajahmu dengan sandal.”

( Nyanyian bahasa Telugu ).


Karanam merasa jengkel ketika dilihatnya anak-anak lewat di tempat itu sambil menyanyikan lagu tersebut. Ia masuk ke rumahnya, kemudian dikirimnya seseorang untuk memanggil anak-anak. “Aku ingin tahu siapa yang mengarang nyanyian itu untuk kalian?” tanyanya kepada mereka. Anak-anak yang ketakutan berkata tanpa dipikir lagi, “Raju yang menulisnya.”

Ia juga tahu bahwa Akulah perencananya dan tidak ada orang lain yang dapat melakukannya. Hari berikutnya dipanggilnya Aku, ditawarkannya sejumlah mangga lalu berkata, “Raju, tolong jangan mengajarkan nyanyian semacam itu kepada anak-anak.” Aku berkata, “Tuan, Anda kepala desa ini, tidak seharusnya Anda melakukan hal semacam itu.”

Ia berjanji bahwa sejak saat itu ia akan berkelakuan baik. Aku juga berjanji tidak akan mengganggunya lagi. Subbamma mendengar hal ini dan merasa sangat senang. Pada masa kanak-kanak itu Aku juga mengubah kelakuan orang-orang dewasa. Setelah suami Subbaammaa meninggal, ia mendarmabaktikan hidupnya untuk Swami. Ia mengabdi Swami hingga napasnya yang terakhir. Kalian perlu mengetahui betapa berbaktinya ia kepada-Ku. Ia biasa menyediakan makanan secara cuma-cuma untuk para bakta. Suatu hari kami mengadakan perjalanan dengan pedati yang dihela lembu jantan. “Subbaammaa, apa yang kauinginkan?” Kutanya ia. Ia memandang ke sekelilingnya dan melihat bahwa tidak ada seorang pun di situ, kemudian ia berkata, “Swami, saya tidak ingin apa-apa. Akan tetapi, jika saya mengembuskan napas terakhir, mohon sucikan hidup saya dan tuangkan air suci ke mulut saya dengan tangan Swami sendiri.” Aku berjanji akan memenuhi keinginannya.

Kemudian suatu hari Aku harus pergi ke Chennai dengan tergesa-gesa untuk memenuhi keinginan sejumlah bakta. Aku harus tinggal di sana selama sepuluh hari. Pada masa itu perang ( dunia ) sedang berkecamuk. Setiap jam biasa terdengar sirene tanda adanya serangan udara. Tanda bahaya itu membuat jalanan menjadi sunyi. Swami tidak dapat kembali ke Puttaparthi. Sementara itu Subbaammaa jatuh sakit dan keadaannya serius. Ia dibawa ke Bukkapatnam. Di situ ia meninggal. Kaum kerabatnya mulai mengucapkan komentar yang pedas, “Sai Baba berjanji kepadanya bahwa Beliau akan menuangkan air suci ke mulutnya pada saat terakhir. Datangkah Beliau? Ke mana Beliau pergi?”

Dalam perjalanan pulang Aku berhenti di tempat perabuan jenazah karena kami melewatinya. Kulihat ada beberapa orang di sana. Batang-batang kayu sudah disiapkan untuk kremasi. “Siapa yang akan dikremasi?” Kutanya mereka. Subbanna, tukang cuci, ada di situ. Ia berkata, “Swami, Subbaammaa meninggal.” “Oh, begitu! Kapan ia meninggal?” tanya-Ku. “Tiga hari yang lalu, Swami,” jawabnya.

Aku pergi ke rumah tempat jenazahnya disemayamkan. Sanak keluarganya sedang bersiap-siap membawanya untuk diperabukan. Adiknya melihat Aku dan mulai menangis. “Baba, ia mendambakan kedatangan Swami! Ia ingin Swami menuangkan air suci ke mulutnya sebelum ia mengembuskan napas terakhir. Akhirnya ia meninggal dengan kecewa.” Kukatakan kepadanya bahwa hal semacam itu tidak mungkin terjadi dan Kuminta agar ia mengambilkan segelas air. Kuletakkan sehelai daun tulsi dalam air itu dan Kusingkap kain yang menyelubungi wajah jasad Subaammaa. Tubuhnya dirubung semut karena ia sudah meninggal tiga hari yang lalu. “Subbaammaa,” dia Kupanggil. Ia segera membuka mata. ( Hadirin bertepuk tangan ).

Dipegangnya kedua tangan-Ku sambil menangis. “Subbaammaa, lihatlah ke sini,” kata-Ku. Kuseka air mata di wajahnya dengan sehelai handuk. “Sekarang pejamkan matamu dengan tenteram,” demikian Kukatakan kepadanya. Kutuangkan air suci ke dalam mulutnya dan Kutepati janji-Ku.


Melenyapkan Perbedaan Kasta dan Komunitas

Subbaammaa selalu berusaha melindungi Aku dari orang-orang yang jahat. Tukang cuci pakaian, Subbanna, adalah lelaki yang kekar. Subbanna yang lain, putra Chandrappa, tingginya 2,1 meter. Subbaammaa memerintahkan agar salah satu di antara kedua pria itu selalu menyertai Aku. Dikatakannya kepada mereka, “Setiap waktu mungkin Swami pergi ke sungai. Beliau masih kecil sekali. Beliau tidak dapat berjalan sejauh itu. Karena itu, salah satu dari kalian harus memanggul Beliau di bahu.” Ia biasa mengatur berbagai hal untuk kenyamanan dan kemudahan-Ku. Ia adalah wanita yang berbudi sangat luhur. Apa pun yang dilakukannya, biasa dilakukannya sedemikian rupa sehingga sangat menyenangkan Swami.

Suatu hari seorang harijan ‘orang yang tidak berkasta’ bernama Gangganna mengundang-Ku agar datang ke rumahnya untuk makan siang. Dia masih hidup. Sekarang usianya 90 tahun. Anak laki-lakinya sekarang bekerja di kantor administrasi kita. Kuberitahu Subbaammaa bahwa Aku akan pergi ke rumah Ganggana untuk makan. Ia berkata bahwa ia juga akan menyertai Aku. “Aku pergi ke rumah seorang harijan. Anda jangan ikut,” demikian Ku-katakan. “Swami, jika Swami pergi, mengapa saya tidak ikut? Saya tidak mengenal takut. Saya akan menemani Swami,” katanya kepada-Ku. Kami makan di rumah Ganggana. Ganggana ketakutan ketika melihat Subbammaa datang karena wanita itu termasuk dalam komunitas brahmana.

Kukatakan kepada Ganggana, “Jangan merasa seperti itu. Tinggalkan perbedaan kasta dan agama. Hiduplah bahagia dengan semangat persatuan.” Sejak masa kanak-kanak Aku sudah mulai membina persatuan di antara berbagai kasta dan agama yang berbeda-beda. Cerita masa kanak-kanak-Ku tiada habisnya.

Anak-anak harus memupuk sifat-sifat yang baik. Mereka harus membuang sifat-sifat buruk seperti kemarahan, sikap suka berlagak, dan iri hati. Mereka tidak boleh membiarkan egonya mekar. Tingkatkan kasih. Kasih harus menjadi napas hidupmu. Tanpa kasih, engkau sama dengan mayat hidup. Dalam keadaan apa pun janganlah engkau meninggalkan kasih. Dengan kasih engkau dapat menaklukkan dunia.

Bhagawan menyudahi wacana Beliau dengan kidung suci, “Prema Mudita Manase Kaho” ‘Dengan Hati Penuh Kasih’.

Wacana Bhagawan pada hari kelima perayaan Dasara, 18-10-1999, di Pendapa Sai Kulwant, Prashanti Nilayam.

Diterjemahkan : Dra. Retno Buntoro