DASARA 1999 - HARI 1

Wacana Bhagawan pada hari pertama perayaan Dasara, 14-10-1999,

LAKSANAKAN AJARAN BHAGAWAN


Kini sifat mementingkan diri sudah menjadi kekuatan yang mengarahkan segala kegiatan manusia. Pikiran dan perasaannya penuh dengan segala macam keinginan, dan kekerasan sudah menjadi cara hidup. Manusia menyia-nyiakan hidupnya tanpa mengetahui tujuan hidup yang sebenarnya. Ia menyimpang jauh dari jalan darma dan prema ‘kasih’. Keinginan-keinginan manusia sudah melampaui batas dan akhirnya menyebabkan ia sengsara. Manusia bingung karena tidak mampu memahami makna kehidupan yang sesungguhnya.

Aku telah memberikan aneka darmawacana selama 60 tahun ini, tetapi kalian tidak melakukan usaha apa pun untuk melaksanakan setidak-tidaknya beberapa di antaranya. Para siswa itu ibarat emas. Hati mereka diliputi aneka perasaan yang suci. Tingkah laku mereka pun harus sesuai dengan perasaan mereka. Manusia akan hancur jika kelakuannya tidak benar. Tidak hanya para siswa, bahkan para pengajar dan pengurus pun tidak memenuhi apa yang diharapkan. Tentu saja mereka sangat mengasihi Swami, tetapi kasih itu tidak dinyatakan dalam bentuk rasa terimakasih dan saadhanaa ‘latihan rohani’. Bahkan Aku pun agak heran karena selama beberapa hari terakhir ini Aku merasa tidak ingin berbicara sama sekali. Karena tidak ada perubahan yang berarti dalam diri kalian, Kupikir tidak ada gunanya terus berbicara kepada kalian. Karena itu, Aku sudah memutuskan untuk membatasi diri dan berbicara sedikit saja. Apa yang kalian harap agar Kubicarakan? Aku sudah mengajarkan segala yang harus diajarkan. Tidak ada lagi yang harus Kusampaikan. Pedih hati-Ku melihat semua ajaran-Ku sia-sia saja dan semua perkataan-Ku yang manis menjadi hambar bagi kalian.

Ego para bakta meningkat. Lagak dan pamer sudah menjadi acara harian. Manusia tidak mampu menyadari bahwa ego akan membawanya menuju kehancuran. Ia tidak bisa mendapatkan manfaat dari pendidikan dan pengalamannya.

Para bakta tidak bersyukur untuk kasih dan rahmat yang dilimpahkan Swami kepada mereka. Mereka berlagak sebagai orang yang hebat di dunia luar. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada ( sikap seperti ) ini.

Sejak zaman dahulu Veda telah mencanangkan aneka kebenaran yang mendalam. Hal itu menjadi landasan untuk kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera. Istilah Veda menunjukkan ‘kebijaksanaan’, ‘kemampuan pertimbangan ( untuk memilah-milah yang baik dan buruk, dan sebagainya )’, dan ‘keberadaan/eksistensi’. Ada orang-orang yang mengidungkan Veda dari pagi sampai sore. Tidak seorang pun menyelidiki hal-hal ini: apakah kegunaan dan makna Veda? Manfaat apa yang diperoleh dengan mengidungkannya? Banyak orang mengikuti pelajaran Veda dan mengkajinya, tetapi mereka melakukan hal itu hanya demi uang, nama, dan kemasyhuran.

Tidak mungkinlah manusia mempelajari Veda yang tidak terbatas dalam masa hidupnya yang terbatas. Karena itu, Maharesi Vyaasa mengelompokkan Veda ke dalam empat golongan yaitu: Rig Veda, Yajur Veda, Saama Veda, dan Atharvana Veda. Selanjutnya Yajur Veda dikelompokkan lagi menjadi Krishna Yajur Veda dan Shukla Yajur veda. Sifat Veda yang bermacam-macam diutarakan dengan berbagai nama lain seperti: Shruti, Smriti, Trayii, Chanda, Svaadhyaaya, Nigama, Agama, dan sebagainya. Setiap nama mengandung makna yang mendalam. Veda terdiri dari dua bagian: Braahmana dan Aaranyaka. Mantra yang dikidungkan dalam yajna dan yaaga merupakan Braahmana. Aaranyaka terdiri dari mantra-mantra yang dikidungkan oleh vaanaprasthaa ( orang lanjut usia yang anak-anaknya sudah mandiri, lalu hidup menyepi dan menjalani latihan spiritual secara serius ) di hutan.

Sayangnya Veda yang amat suci dan sarat dengan kebenaran yang mendalam ini tidak dihormati dengan sepatutnya. Akibatnya kebudayaan India merosot. Orang-orang dari mancanegara lebih memahami nilai Veda daripada orang-orang India. Cendekiawan dari Jepang dan Jerman telah mempelajari Atharvana Veda secara mendalam dan karena itu unggul dalam pembuatan senjata serta amunisi. Namun sayangnya para putra Bhaarat ‘orang India’ tidak mampu memahami kebesaran dan kemuliaan Veda. Mereka menghancurkan hidupnya dalam usaha mencari kesenangan materiil. Bahkan latihan spiritual pun dilakukan hanya untuk memenuhi ambisi duniawinya. Manusia hanya dapat memelihara kebudayaan yang suci ini bila ia meningkatkan kepercayaan yang teguh kepada Tuhan. Mereka menempuh pravritti marga ‘jalan duniawi’ dan melupakan nivritti marga ‘jalan spiritual’.

Dewasa ini manusia ingin mengerjakan segala sesuatu dalam sekejap mata tanpa melakukan usaha apa-apa. Ia tidak mau berdaya upaya atau menanggung kesulitan. Kini manusia tidak bersedia menerima kebenaran, mereka terpengaruh oleh ketidakbenaran. Situasi ini seperti orang menolak susu yang diantarkan ke pintu rumahnya, tetapi bersedia pergi jauh untuk minum minuman keras yang diperdagangkan secara gelap.

Apakah hakikat pendidikan? Pendidikan dimaksudkan untuk mengetahui dirimu (yang sejati), bukan untuk mengumpulkan harta. Walaupun berpendidikan, orang yang keji tidak dapat melenyapkan sifat-sifat jahatnya. Pendidikan modern hanya membawa manusia menuju perdebatan, bukan kebijaksanaan yang menyeluruh. Jika orang-orang yang lebih tua menempuh jalan yang tidak benar, para pelajar yang belia mungkin akan mengikuti jejak mereka. Orang-orang modern mengira dirinya berpendidikan tinggi, tetapi sesungguhnya ia berada dalam kekaburan batin yang parah. Karena tidak mampu memahami makna pendidikan, ia hanya mengguna-kannya untuk mencari nafkah. Ia membaca berbagai kitab suci dan mengikuti berbagai organisasi spiritual, tetapi tidak melakukan usaha apa pun untuk melaksanakan setidak-tidaknya beberapa wejangan yang suci. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada hal ini. Kesalahan yang dilakukan tanpa sengaja dapat dimaafkan, tetapi kesalahan yang dilakukan dengan sengaja adalah dosa besar. Walaupun manusia menyadari sepenuhnya apa yang baik dan apa yang buruk, ia tidak mampu melaksanakan hal yang baik dan menghentikan perbuatan yang jahat. Itulah sebabnya ia tidak dapat maju dalam bidang spiritual.

Sejak zaman dahulu Veda Purusha Saptaha Jnaana Yagna telah dikaitkan dengan makna spiritual yang mendalam. Yagna berarti ‘pengurbanan’. Dalam yagna ini kalian harus mengurbankan pikiran buruk, perasaan jahat, dan kecenderungan yang tidak baik dalam diri kalian, kemudian meningkatkan semua sifat yang baik. Sebelum yagna dimulai, dibuatlah api dengan menumpangkan sepotong kayu di atas potongan kayu lainnya, kemudian digosokkan kuat-kuat. Potongan kayu yang berada di bawah dapat diibaratkan dengan ibu dan yang di atas adalah ayah. Api yang timbul, sang putra, membakar orang tuanya. Engkau harus menyadari makna yang terkandung dalam hal ini.

Anak-anak-Ku terkasih!

Banyak di antara kalian yang merasa tidak enak karena mengira bahwa Swami jengkel dan tidak mau berbicara kepada kalian. Sedikit pun Aku tidak mempunyai rasa marah atau rasa tidak suka, baik kepada para siswa maupun kepada orang-orang yang lebih tua. Para siswa Kuanggap sebagai hidup-Ku sendiri. Jadi bagaimana Aku bisa merasa jengkel kepada mereka? Akan tetapi, Aku tidak ingin berbicara kepada siapa pun karena Aku tidak mau meremehkan perkataan-Ku sendiri. Aku merasa lebih baik tidak berbicara daripada berbicara dan kehilangan nilai kata-kata-Ku. Aku hanya akan berbicara kepada kalian, jika kalian mulai menghormati perkataan-Ku dengan sepatutnya. Tidak ada gunanya merasa tidak enak karena Swami tidak berbicara kepada kalian. Berusahalah agar layak sehingga Swami berkenan berbicara kepadamu. Aku sudah memberikan pelajaran kepada kalian pada berbagai kesempatan yang tidak terhitung jumlahnya, tetapi, sudahkah kalian berusaha sungguh-sungguh melaksanakan setidak-tidaknya satu di antaranya? Jika kalian tidak membuang kecenderungan-kecenderungan jahat seperti: kebencian, iri hati, suka berlagak, dan suka pamer, bagaimana kalian bisa berharap Swami akan berbicara kepadamu? Kebencian adalah musuh terbesar bagi manusia. Lagak dan pamer meningkatkan ego yang pada gilirannya akan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan. Kasih merupakan harta yang dimiliki oleh semuanya. Kalian hanya dapat mencapai kebahagiaan dan kedamaian, bila kalian meningkatkan kasih. Akan tetapi, kini kasih merosot dan kebencian meningkat. Kita mendapati kebencian di antara anggota satu keluarga, siswa dalam universitas yang sama, dan sesama penghuni ashram.

Apakah ashram? Ashram adalah tempat tanpa shrama ‘kesulitan’. Namun, kalian mengubah ashram ini menjadi tempat shrama! Kalian tidak berhak tinggal di ashram, jika kalian tidak mengikuti perintah Swami dan tidak memahami kasih serta sifat ketuhanan Beliau. Kalian tidak akan memperoleh manfaat apa-apa, jika kalian hanya tinggal di sini tanpa melaksanakan ajaran Swami. Lebih baik Aku tidak berbicara kepada kalian kalau kalian tidak melaksanakan apa yang Kukatakan. Sesungguhnya bakta mancanegara lebih memahami kasih Swami. Mereka luar biasa bahagianya, bila Swami berbicara kepada mereka sekali saja. Sebaliknya kalian tidak menyadari nilai kasih dan rahmat yang setiap hari Kucurahkan kepada kalian. Kalian hanya membuang-buang waktu dengan melakukan perbuatan yang keji seperti memfitnah dan mengadukan teman yang satu kepada yang lain. Fitnah adalah dosa terburuk. Jangan mengecam atau memaki orang lain. Kitab-kitab Upanishad telah menyatakan bahwa manusia itu sangat bernilai. Akan tetapi, manusia kehilangan rasa hormat dan harga dirinya. Ini merupakan salahnya sendiri.

Ini sebuah contoh. Kalian semua memuja Aku. Akan tetapi, atma di dalam diri-Ku sama dengan atma di dalam diri kalian. Karena itu, pemujaan kalian kepada-Ku sama saja dengan atma memuja dirinya sendiri. Bila seseorang mengecam orang lain, ia berbuat demikian karena menganggap dirinya terpisah dari orang lain, tanpa memahami kemanunggalan atma. Atma tidak mengecam dirinya sendiri. Jika kalian ingin dekat dan disayangi Swami, tingkatkan prinsip kasih. Segala mantra yang kalian ucapkan dan puja yang kalian lakukan akan sia-sia saja, jika kalian mempunyai sifat-sifat buruk seperti kebencian, iri hati, suka berlagak, dan suka pamer.
Perwujudan kasih!

Kasihilah semua makhluk seperti kalian mengasihi Swami karena Swami ada di dalam semuanya. Tuhan Yang Maha Esa bersemayam dalam segala makhluk. Iishvarah sarva bhuutanam. Orang yang menyadari kebenaran ini dapat mencapai apa saja dalam hidupnya.

Suatu kali Raja Janaka menyelenggarakan yajna agung. Upacara pengurbanan ini dihadiri oleh para cendekiawan besar, tidak hanya pria, melainkan juga beberapa wanita antara lain Yaagnavalkya, Gaargi, Naarada, dan sebagainya. Raja memberitahu sidang agar mengajukan pertanyaan apa saja yang mereka kehendaki. Gaargi bertanya apakah sebagai wanita ia diizinkan mengajukan pertanyaan. Janaka adalah seorang yang sangat arif. Ia berkata,

“Advaita darshanam jnaanam.”

Artinya,
‘Kesadaran non-dualitas atau kesadaran kemanunggalan
seluruh alam semesta adalah kebijaksanaan sejati’.


Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam kebijaksanaan sejati. Karena itu, setiap orang bebas bertanya. Kemudian Gaargi berkata kepada Yaagnavalkya, “Anda bersiap-siap berangkat dengan ( seribu ) sapi yang dianugerahkan Raja kepada Anda. Anda dapat melakukannya setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Pertanyaan pertama: apakah landasan segala benda dalam alam semesta ini?” Semua cendekiawan yang hadir heran karena seorang wanita berani mengajukan pertanyaan semacam itu. “Aakasha ‘angkasa atau eter’ adalah landasan segala yang ada,” jawab Yaagnavalkya. Kemudian Gaargi melanjutkan pertanyaannya, “Apakah yang melampaui angkasa, meliputi dan menembusi bumi?” “Zat yang meliputi semua ini hanyalah aakasha,” jawab Yaagnavalkya. Dengan pembicaraan seperti ini para peserta pertemuan itu mendiskusikan sumber asal aakasha. Aakasha merupakan landasan segala sesuatu. Surya ( yang dimaksud di sini bukan matahari yang kasat mata melainkan hiranyagarbha atau kesadaran universal, keterangan penerjemah ) merupakan landasan aakaasha. Prakriti adalah sumber asal surya. Aakasha tidak berarti angkasa yang ada di atas kepala kita. Gaargi berkata, “Shabda Brahman ‘sabda Tuhan’ adalah aakasha.” Segenap hadirin heran atas kemampuan pertimbangan dan kebijaksanaan Gaargi.

Kalian semua tahu, Naarada itu suka usil. Ia berdiri dan mengajukan pertanyaan kepada Gaargi, “Nona yang terhormat, apakah cita-cita hidup Anda?” “Keinginan saya satu-satunya adalah mencapai Tuhan,” jawab Gaargi. “Itu tidak mungkin,” jawab Naarada. “Mengapa?” tanya Gaargi. Naarada menjawab, “Moksa dan mencapai Tuhan tidak ditakdirkan untuk wanita yang tidak menikah.” Gargi menjawab, “Ketuhanan berkaitan dengan atma dan tidak berkaitan dengan wujud fisik pria atau wanita.” Naarada berkata, “Begitu Anda menikah, Anda akan mencapai moksa.” Gaargi berkata, “Itu tidak mungkin karena saya sudah menyerahkan seluruh diri saya kepada Tuhan. Karena itu, apakah tidak ada kemungkinan bagi saya untuk mencapai moksa?” Sementara perdebatan ini berlangsung, Janaka menyela dan berkata, “Apa masalahnya? Menikahlah!” Gaargi berpikir sebentar dan mempertimbangkan isi semua kitab Upanishad serta Shaastra, kemudian ia berkata, “Kalau begitu, baiklah. Saya akan menikah untuk satu hari.” Bahkan Naarada pun bingung memikirkan apa yang dimaksud Gaargi dengan menikah untuk satu hari ini. Kemudian Gaargi berkata, “Menikah adalah menikah, entah untuk satu hari atau seratus tahun. Jadi saya akan menikah untuk sehari, siapa yang bersedia?” Seorang resi bernama Sringgi yang hadir di situ setuju. “Tad eva lagnam, sudinam ta deva, tarabalam chandra balam tadeva, vidya balam Daiva balam tadeva,” sementara mantra itu diucapkan dan sang resi mengikatkan simpul lambang pernikahan, Gaargi segera memutus benang itu dan membuangnya. Langsung ia mencapai moksa. Dengan demikian Gaargi mencapai tujuannya tanpa melanggar sumpahnya atau petunjuk Shaastra yang mana saja. Janaka berkata, “Gaargi, seluruh hidup Anda, Anda abdikan untuk memenuhi kehendak Tuhan. Bagaimana moksa dapat menghindari Anda? Anda ditakdirkan untuk moksa. Anda benar-benar cendekiawan yang hebat. Hari ini saya akan melangsungkan penobatan diri saya dengan Anda sebagai pelaksananya.” Setelah itu Gaargi menjelaskan darma bagi orang-orang yang berumah tangga dan ia berkata bahwa pertalian duniawi semacam itu bersifat sementara dan tidak langgeng.

Tidak terhitung banyaknya wanita seperti Gaargi yang telah lahir di negeri Bhaarat yang suci ini. Setelah lahir di tanah suci ini, mengapa begitu banyak di antara kalian membiarkan diri merosot ke taraf yang demikian rendah? Ego dan keinginanlah yang menyebabkan keadaan ini. Semua yang Kukatakan adalah demi kebaikanmu dan bukan untuk-Ku. Banyak di antara kalian yang tidak menyadari hal ini. Kesombongan akan tingkat pendidikan merupakan penyebab utama kekaburan batin. Orang yang terpelajar harus rendah hati. Pendidikan memberikan kerendahan hati, kerendahan hati memberi kelayakan, orang yang layak memperoleh kekayaan, dan bila kekayaan digunakan untuk melakukan perbuatan yang bajik, engkau akan memperoleh kebahagiaan sejati.

Anak-anak-Ku terkasih!

Pertama buanglah rasa sombongmu. Tingkatkan kerendahan hati. Hormati orang-orang yang lebih tua. Berbicaralah dengan ramah dan menyenangkan. Jika engkau melaksanakan kebajikan ini, Swami akan selalu menyertaimu dan membimbingmu senantiasa. Kalian tidak tahu, akan terjadi banyak sekali hal-hal yang hebat. Segala sesuatu yang dilihat, didengar, atau dirasakan akan menjadi suci. Semua ini akan berlangsung tidak lama lagi. Jangan sampai kalian kehilangan kesempatan yang suci ini dan menyia-nyiakannya. Sekali kesempatan ini hilang, kalian tidak akan pernah memperolehnya lagi. Sekali kauperoleh, hal itu tidak akan hilang. Simpanlah gagasan suci ini di hatimu, hormati orang tuamu, senangkan orang-orang yang lebih tua, engkau akan membuat hidupmu bermakna. Inilah berkat-Ku bagi kalian semua. Dengan berkat ini Kusudahi wacana-Ku.

Bhagawan mengakhiri wacana Beliau dengan kidung suci, “Bhajana Bina Sukha Shanti Nahi,” ‘Tanpa Menyanyikan Kidung Suci, Tiada Sukacita dan Kedamaian’.

Wacana Bhagawan pada hari pertama perayaan Dasara, 14-10-1999, Pendapa Sai Kulwant, Prashanti Nilayam.